Bincang asyik jurnalisme sastra bersama Septiawan Santana Kurnia

Penggunaan jurnalisme sastra di media digital, yang cenderung mengetengahkan berita pendek-pendek, dinilai Septiawan masih relevan.

ilustrasi. ist

Pada tahun 2002 terbit sebuah buku berjudul Jurnalisme Sastra. Buku itu sangat fenomenal. Isinya banyak sekali pencerahan. Buku tersebut menjadi rujukan para wartawan. Di Bandung, bukunya dibedah dan dikaji berbagai kampus. Penulisnya, Septiawan Santana Kurnia.

Waktu itu, tahun 2002, buku Jurnalisme Sastra mengalami booming di mana pers kampus, pers mahasiswa, dan wartawan juga menggunakan buku itu sebagai rujukan penulisan.

"Praktik jurnalisme sastra digunakan dalam jurnalisme sekarang relevansinya itu berkorelasi dengan ketertarikan sebuah tulisan. Kesastraan dalam jurnalisme memberi pengaruh terhadap menariknya sebuah penyajian. Jadi, ukurannya adalah bagaimana membuat sebuah berita yang asyik, enak, dan keren," kata Septiawan.

Sebagai pengamat media, Septiawan mengarang buku Jurnalisme Sastra (2002), Jurnalisme Investigasi (2003), Jurnalisme Kontemporer (2005), Menulis Feature (2005), Menulis Ilmiah: Metode Penelitian Kualitatif (2007), dan Menulis Itu Ibarat Ngomong (2007). Ia sehari-hari berprofesi pengajar jurnalistik sekaligus Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung. Selain mengarang enam judul buku itu, dia juga menerbitkan sejumlah karya mengupas tentang media di berbagai jurnal ilmiah.

"Jurnalisme sastra dengan dasar itu akan selalu hidup. Karena mengisi ruang-ruang kosong yang ada di dalam jurnalisme. Mengisi kebutuhan jurnalisme untuk selalu memiliki daya tarik dengan isi beritanya. Dengan sastrawi ini, jurnalisme menjadi lebih dekat dengan kebutuhan masyarakat," ujar Septiawan berbincang dengan Billy Antoro, mantan aktivis pers mahasiswa Didaktika, Universitas Negeri Jakarta.