Fiksionalisasi krisis iklim dalam sensasi media

Malah di Indonesia juga sering terjadi (manuver) membingkai krisis iklim ketika mengucur program dari perusahaan tambang

ilustrasi. Istimewa

Bagaimana cara misinformasi bisa bekerja? Karena media massa kerap memotret perubahan iklim (climate change) sebagai isu elit dan berbentuk abstrak. Itu justru menjauhkan krisis iklim sebagai isu yang relevan dan berdampak pada kehidupan sehari-hari.

"Misalnya di sini dikutip berita bahwa bahasa-bahasa yang digunakan kalau memberitakan bencana itu (maka) frame-nya sensasi. Tapi kalau memberitakan kaitannya dengan perubahan iklim itu frame-nya sesuatu yang njlimet (sukar dimengerti). Jadi, tidak ada koneksi antara keduanya," kata Aulia Dwi Nastiti.

Menurut peneliti di Remotivi, padahal media bisa menjadi pintu masuk krisis iklim, interdisipliner, luas sekali. Dari sesuatu yang sangat relevan dengan kita, tapi seringkali perubahan iklim itu dibicarakan dengan komunikasi yang sangat abstrak. Terus ini urusannya para menteri, para elite, pajak karbonlah, program-program pemerintah yang ditonjolkan itu seperti itu.

"Kalaupun media arus utama memproduksi berita-berita dengan tema perubahan iklim atau kata kunci perubahan iklim, narasi yang diangkat itu umumnya berfokus pada dampak krisis iklim di skala global. Jadi, menjauhkan kita dari konteks lokal atau menjauhkan dari permasalahan yang memang dekat dengan kita," serunya dalam diskusi daring, Selasa (5/3).

Nastiti menekankan, malah di Indonesia juga sering terjadi (manuver) membingkai krisis iklim ketika mengucur program dari perusahaan tambang. Misalnya, perusahaan tambang membuat sebuah kampanye menulis artikel tentang pertambangan berkelanjutan. Itu 'kan jadi membawa perubahan iklim tapi disusupi oleh agenda-agenda pihak yang sebenarnya memperparah krisis iklim itu sendiri?