Geliat pers dalam permainan demokrasi di era reformasi

Menurut Septiawan, sistem click bait dan traffick yang didorong Google dan perusahaan raksasa lainnya tidak bisa dinafikkan,

Septiawan Santana Kurnia. Foto Dok Pribadi

Terkungkung lebih dari 50 tahun sejak kemerdekaan bangsa ini, pers Indonesia akhirnya menghirup kebebasan. Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie melalui Sekretaris Negara Muladi mengesahkan Undang-undang Pers di Jakarta pada 23 September 1999.

Tiga asas pers menurut UU nomor 40 tahun 1999 itu mencakup pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Pers wajib melayani hak jawab. Pers juga wajib melayani hak tolak.

Beranjak dari sejarah keterkungkungannya dan asas pegangan pers nasional, Alinea.id menghubungi pengamat media, Septiawan Santana Kurnia, melalui wawancara virtual, Jumat (7/1/2022). 

Septiawan menulis buku Jurnalisme sastra (2002), Jurnalisme Investigasi (2003), Jurnalisme Kontemporer (2005), Menulis Feature (2005), Menulis Ilmiah: Metode Penelitian Kualitatif (2007), dan Menulis Itu Ibarat Ngomong (2007) serta menjadi pengajar jurnalistik sekaligus Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung.

Dunia jurnalistik Indonesia setelah era kebebasan pers selama 21 tahun dipandang Septiawan banyak berkembang dan dari sisi kebebasan jelas berubah.