Latah wartawan dan eksploitasi kabar bencana

Kenapa wartawan gemar sekali mendudukkan bencana sebagai drama, demi mengejar klik? Bagaimana seharusnya etika jurnalisme bekerja?

Ilustrasi korban gempa di Lombok, NTB./ Antarafoto

Pemberitaan media tentang gempa yang terjadi di Lombok, Nusa Tenggara Barat, tak pernah absen memenuhi ruang publik seminggu terakhir ini. Dalam situasi penuh ketidakpastian usai bencana, kebutuhan publik akan pemberitaan tersebut akan meningkat tajam.

Pertanyaan standar seperti, “Bagaimana perasaan korban saat ini?”,”Apakah mendapat firasat akan terjadi bencana sebelumnya?”, serta macam-macam pertanyaan sejenis akan diajukan pewarta ke narasumber.

“Jangan pernah menanyakan, 'Bagaimana perasaan Anda?' atau 'Dengan kejadian ini, bagaimana perasaan Anda ?', Kedua pertanyaan itu merupakan pertanyaan yang tidak sensitif dan sangat buruk,” jelas Joe Hight dan Cait McMahon, Direktur Dart Center for Journalism and Trauma dalam "Meliput Trauma: Panduan Dart Centre untuk para Wartawan, Redaktur, dan Manajer."

Pertanyaan itu hanya menempatkan narasumber kembali ke perasaan dukanya. “Anda hanya akan dapat memperoleh air mata sebagai jawabannya, anda lebih sulit mendapatkan jawaban yang sesuai dan penuh makna,” tambah Hight dan McMahon.

Senada dengan Hight dan McMahon, cecaran pertanyaan tersebut menurut Ahmad Arif dalam tulisannya di Remotivi, hanya membuat keadaan psikologis korban kian terganggu. Media, kata Arif, mengejar sisi dramatis dari bencana, dan minim mendorong kesiapsiagaan atau menggali informasi tentang sebab jatuhnya banyak korban, sehingga bisa jadi pelajaran untuk perbaikan di masa mendatang.