sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Latah wartawan dan eksploitasi kabar bencana

Kenapa wartawan gemar sekali mendudukkan bencana sebagai drama, demi mengejar klik? Bagaimana seharusnya etika jurnalisme bekerja?

Annisa Saumi
Annisa Saumi Rabu, 08 Agst 2018 12:30 WIB
Latah wartawan dan eksploitasi kabar bencana

Pemberitaan media tentang gempa yang terjadi di Lombok, Nusa Tenggara Barat, tak pernah absen memenuhi ruang publik seminggu terakhir ini. Dalam situasi penuh ketidakpastian usai bencana, kebutuhan publik akan pemberitaan tersebut akan meningkat tajam.

Pertanyaan standar seperti, “Bagaimana perasaan korban saat ini?”,”Apakah mendapat firasat akan terjadi bencana sebelumnya?”, serta macam-macam pertanyaan sejenis akan diajukan pewarta ke narasumber.

“Jangan pernah menanyakan, 'Bagaimana perasaan Anda?' atau 'Dengan kejadian ini, bagaimana perasaan Anda ?', Kedua pertanyaan itu merupakan pertanyaan yang tidak sensitif dan sangat buruk,” jelas Joe Hight dan Cait McMahon, Direktur Dart Center for Journalism and Trauma dalam "Meliput Trauma: Panduan Dart Centre untuk para Wartawan, Redaktur, dan Manajer."

Pertanyaan itu hanya menempatkan narasumber kembali ke perasaan dukanya. “Anda hanya akan dapat memperoleh air mata sebagai jawabannya, anda lebih sulit mendapatkan jawaban yang sesuai dan penuh makna,” tambah Hight dan McMahon.

Senada dengan Hight dan McMahon, cecaran pertanyaan tersebut menurut Ahmad Arif dalam tulisannya di Remotivi, hanya membuat keadaan psikologis korban kian terganggu. Media, kata Arif, mengejar sisi dramatis dari bencana, dan minim mendorong kesiapsiagaan atau menggali informasi tentang sebab jatuhnya banyak korban, sehingga bisa jadi pelajaran untuk perbaikan di masa mendatang.

Arif mencontohkan, pertanyaan bertubi-tubi reporter televisi kepada seorang bapak yang anaknya terjebak dalam sekolah yang rubuh akibat gempa, yang mengguncang Sumatera Barat pada 2009. Siaran itu ditayangkan langsung, barangkali disaksikan jutaan orang, termasuk anak-anak.

“Wajah si bapak hanya bisa tertunduk lesu, sementara si reporter tak berhenti dan terus mencecar si bapak tanpa rasa empati,” tulis Arif. Padahal, menurut Hight dan McMahon, wartawan harus mengingat para korban, mereka yang selamat, keluarga serta rekan-rekan tengah berjuang untuk mendapatkan kembali kendali atas kehidupan mereka menyusul pengalaman-pengalaman yang mengerikan. Biarkan mereka mengusulkan, kapan, di mana, dan bagaimana mereka diwawancarai, difoto, atau difilmkan.

“Sertakan mereka dalam setiap keputusan yang dapat anda lakukan – misalnya, bacakan kembali ucapan-ucapan mereka yang anda telah kutip atau putar ulang rekaman kasar; beri kesempatan kepada mereka untuk menyarankan foto-foto mana dari anggota keluarga yang telah meninggal, atau luka yang harus ditayangkan,” ucap Hight dan McMahon.

Sponsored

“Sayangnya, media-media Indonesia masih menunjukkan euforia saat memberitakan bencana. Sebagian besar media hanya mengeksploitasi bencana sebagai praktik drama demi keuntungan media semata,” tulis Muzayin Nazarudin dalam penelitiannya yang berjudul “Jurnalisme bencana di Indonesia, setelah sepuluh tahun.”

Media, kata Hight dan McMahon, memiliki kecenderungan untuk berperan sebagai ‘kutu loncat’, melompat dari satu isu bencana ke isu lainnya. Hasilnya, imbuh mereka, pemberitaan bencana tidak pernah tuntas karena terdesak oleh isu lain yang masih dianggap lebih seksi, mudah diburu, dan tidak memerlukan mekanisme serius untuk menampilkannya.

“Setelah dua hingga empat minggu, media menemukan headline baru. Orang dibiarkan menjalani kehidupan mereka sendiri,” kata Hight dan McMahon.

Lembaga penyiaran publik Jepang, NHK, barangkali adalah contoh terbaik dalam melakukan reportase bencana berkelanjutan. Saat terjadi gempa, tsunami, dan kebocoran nuklir di wilayah Fukushima, Jepang, NHK tetap fokus memberitakan bencana tersebut ketika media-media lain mulai mengalihkan perhatian pada isu terbaru di Libya.

Beberapa tahun setelah Perang Dunia II berakhir, bencana alam merenggut banyak nyawa. Dalam proses membangun ulang negara pascaperang, sistem mitigasi penanggulangan bencana menjadi mutlak diperlukan di Jepang. Setelah bencana angin taifun pada 1961 misalnya, pemerintah Jepang membuat tindakan penanggulangan dasar bencana dan mendapuk NHK sebagai garda terdepan penyebaran informasi yang akurat.

Laporan-laporan bencana NHK melampaui ekspektasi yang diminta pemerintah Jepang. NHK mengumpulkan dan menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh korban-korban terdampak bencana. Informasi-informasi seperti pencarian korban hilang, informasi pemulihan, makanan, air, dan suplai obat-obatan dan segala macam informasi lain yang dibutuhkan oleh penyintas bencana disediakan oleh NHK.

Dramatisasi minim mitigasi

“Walaupun sudah berkali-kali dihantam bencana, mitigasi bencana belum menjadi tren dalam pemberitaan media. Media selalau saja sibuk mengejar efek dramatis dan kepedihan setelah bencana menerjang,” kritik Ahmad Arif dalam tulisannya.

Mitigasi atau serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik atau pun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana, mendapatkan porsi pemberitaan lebih sedikit di media massa. Dari pantauan Alinea terhadap pemberitaan pascagempa Lombok, dakwaan Arif tidaklah berlebihan.

Ilustrasi wartawan yang melakukan peliputan./ Pixabay

Portal berita liputan6.com misalnya, mengangkat judul-judul yang berpotensi mengundang klik, seperti "Terkejut gempa Lombok, Chrissy Teigen lupa berpakaian","Isyarat kucing mengeong dan suasana mencekam saat gempa Lombok","Cerita hewan menjerit dan berlindung dekat warga saat gempa guncang Lombok" dan "Peringatan bocah 4 tahun sebelum gempa besar guncang Lombok". Sementara itu, hanya terdapat satu buah berita mengenai mitigasi bencana di portal liputan6.com pascagempa Lombok.

Masduki, dalam tulisannya "Wajah Ganda Media Massa dalam Advokasi Bencana Alam" (2007), mengatakan tidak ada kesinambungan dalam pemberitaan bencana. Yang ada hanyalah berita terpenggal-penggal, tidak tuntas, tidak mendalam, dan absurd. “Berita-berita bencana tersebut tidak memiliki visi dan orientasi menuju rehabilitasi,” jelas Masduki.

Sementara Arif berkeyakinan dalam jurnalisme bencana, yang paling penting sebenarnya adalah memberitakan dengan perspektif mitigasi bencana, bukan mengeksploitasi kepedihan saat tragedi terjadi. “Bagaimana media memberi perspektif terhadap masyarakat untuk bersiaga, itulah yang harus menjadi dasar pijakan bagi jurnalisme bencana di negeri yang rentan bencana ini,” terang Arif.

Panduan meliput bencana

Dalam situasi bencana, media bisa memberikan ruang aman bagi para korban untuk menceritakan apa yang mereka lalui. Seorang jurnalis yang turun langsung ke daerah bencana, wajib mengenali lokasi bencana yang akan diliput, untuk menghindari bahaya di lapangan.

Gemma Sou, Dosen Manajemen Bencana dari University of Manchester dalam tulisannya di "The Conversation" mengatakan, wartawan harus mengingat jika pihak yang paling merana dari peristiwa bencana alam adalah penduduk setempat, bukan para wisatawan. “Hidup mereka, penghidupan mereka, rumah mereka, semua hancur. Sementara, proses pemulihan akan berlangsung bertahun-tahun,” ujar Sou.

Sementara Hight dan McMahon dalam panduan meliput bencana mengatakan, wartawan mesti bersikap santai kepada narasumber korban bencana. “Mereka mempunyai hak untuk menolak dan diwawancarai, untuk diambil fotonya, dan difilmkan,” jelas Hight dan McMahon. Keduanya juga mengingatkan agar para wartawan tetap bersikap akurat dan tidak pura-pura menunjukkan simpati.

Psikolog klinis Kevin Becker punya pendapat senada. Menurutnya, media mesti berhati-hati dalam memberitakan seolah-olah komunitas-komunitas korban telah pulih, padahal belum. Hindari kata 'selesai', Memulihkan diri dari trauma adalah sebuah proses pengembangan. Trauma dicerna sepanjang waktu, jadi ‘selesai' bukan deskripsi yang tepat dan para korban akan mendengarnya sebagai ‘dia telah melupakannya’,” jelas Becker.

Selain memerhatikan korban, wartawan juga perlu memerhatikan dirinya. Meliput bencana dan konflik dapat menimbulkan pengalaman penuh ketegangan dan kesepian. Dukungan dari keluarga dan rekan kerja bisa membantu wartawan tetap sehat secara emosional dan bisa bekerja secara maksimum.

Irwin Shaw, seorang penulis Amerika misalnya pernah menulis sosok Robert Capa, temannya sekaligus jurnalis foto asal Hungaria yang telah merekam begitu banyak tragedi peperangan. Shaw menulis “Hanya pada pagi hari, setelah ia bangun dari tempat tidurnya, Capa menunjukkan bahwa tragedi dan perasaan sedih mendalam yang ia lewati meninggalkan jejak pada dirinya. Wajahnya pucat, matanya sayu, dan dihantui mimpi buruk malam harinya; di sini setidaknya, kameranya telah merekam banyak sekali peristiwa maut dan kriminal; inilah kisah mengenai orang yang sedang berputus asa dan mengerang kesakitan, penuh sesal, acak-acakan.”

Berita Lainnya
×
tekid