2 pihak ini harus bertanggung jawab jika muncul klaster akibat kampanye langsung

PKPU 10/2020 tentang Pelaksanaan Pilkada dalam Kondisi Bencana Nonalam, menerangkan bahwa peserta pemilu dapat kampannye.

Ilustrasi pilkada. Alinea.id/Dwi Setiawan

Presiden Joko Widodo dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR) dinilai pihak yang paling tepat untuk disalahkan atas adanya aturan yang memperbolehkan para kandidat Pilkada Serentak 2020 menggelar kampanye langsung di tengah pandemi Covid-19.

Adapun aturan yang dimaksud ialah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali kota.

"Pihak yang lebih tepat dipermasalahkan soal rapat umum offline di tengah wabah adalah presiden (yang membuat Perpu) dan DPR yang mengundangkan Perpu menjadi UU Pilkada," ujar peneliti Perludem Usep Hasan Sadikin, saat dihubungi, Kamis (17/9).

Menurutnya, regulasi pilkada hasil perppu mempunyai kekuatan untuk dapat menunda kampanye langsung meski keadaan pandemi belum membaik. Baginya, keadaan saat pemungutan suara pada Desember 2020 akan lebih buruk jika tidak ada aturan untuk menunda pelaksanaan Pilkada Serentak 2020.

"Artinya, pemerintah dan DPR bisa melanggar hukum yang dibuatnya sendiri jika pilkada tidak ditunda lagi saat wabah masih buruk bahkan bertambah buruk," ujar Usep.