5 potensi malaadministrasi tata kelola pupuk bersubsidi, ini temuan Ombudsman

Mekanisme pengawasan pupuk bersubsidi belum maksimal, berbagai penyelewengan belum tertangani secara efektif.

Pekerja mengangkut pupuk untuk didistribusikan di gudang pupuk PT Pupuk Kujang Jatibarang, Indramayu, Jawa Barat, Rabu (8/1/2020)/Foto Antara/Dedhez Anggara/wsj.

Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Yeka Hendra Fatika menyampaikan, riset Asian Development Outlook (ADO) 2020 mencatat bahwa sepertiga pekerja di Asia berada pada sektor pertanian. Selain itu, populasi penduduk pedesaan mengalami penurunan dari 80% di tahun 1970 menjadi 52% pada tahun 2020, dan diprediksi mencapai 40% sebelum tahun 2050.

“Ini akan menjadi pertanyaan, siapakah nantinya yang akan menyiapkan pangan kita? Apakah orang kota yang akan menjadi penyedia pangan?,” ujar Yeka dalam  Laporan Kajian Sistematik Pencegahan Maladministrasi dalam Tata Kelola Pupuk Bersubsidi Ombudsman RI, Senin (30/11).

Yeka juga merujuk pada data Bank Dunia bahwa proporsi penduduk yang berprofesi petani hanya tersisa 28,5% pada tahun 2019. “Menurunnya populasi petani tersebut berkaitan erat dengan berbagai permasalahan sektor pertanian dan kurangnya perlindungan bagi petani. Saat ini, program pupuk bersubsidi diletakkan sebagai instrumen dalam peningkatan produksi komoditas pertanian ” tambahnya.

Lebih lanjut Yeka mengatakan, pada 12 Januari 2021, Presiden Joko Widodo telah menyampaikan kekesalannya lantaran program pupuk bersubsidi dinilai tidak memberikan hasil dan perlu dievaluasi.

Yeka menuturkan, berdasarkan hasil kajian dan telaah deteksi awal dan penelusuran informasi yang dilakukan Ombudsman terdapat lima tipologi masalah dan hambatan dalam tata kelola program pupuk bersubsidi, yakni sasaran atau kelompok tani penerima pupuk bersubsidi, akurasi data penerima pupuk bersubsidi, mekanisme distribusi, efektivitas penyaluran, serta mekanisme pengawasan distribusi dan penyaluran pupuk bersubsidi.