Amarah warganet tak menginspirasi hakim atas vonis Juliari, terjebak opini publik?

Patut diduga putusan hakim pada kasus JB menunjukkan betapa medsos punya kekuatan dalam mempengaruhi emosi hakim.

Menteri Sosial nonaktif Juliari P Batubara/Antara Foto

Psikolog forensik Reza Indragiri Amriel mempertanyakan sumber simpati hakim terkait vonis 12 tahun terhadap bekas Menteri Sosial Juliari Batubara (JB) dalam perkara korupsi bantuan sosial (bansos) Covid-19 di wilayah Jabodetabek.

Dalam sidang Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat membeberkan alasan menjatuhkan vonis ringan terhadap Juliari. Salah satunya, majelis hakim menilai Juliari sudah cukup menderita karena mendapatkan "bullying" dari masyarakat berupa caci-maki dan penghinaan.

"Pertanyaannya, di manakah hakim memperoleh pengetahuan tentang perlakuan masyarakat terhadap JB? Karena aktivitas sosial hakim sangat terbatas bahkan dibatasi, maka tampaknya media sosial yang menjadi referensi hakim," kata Reza kepada Alinea.id, Selasa (24/8).

Jika benar demikian, kata Reza, maka benarlah bahwa kerja hakim juga bisa dijelaskan lewat public opinion model. Bedanya, kata Reza, dalam kasus JB, amarah warganet tidak menginspirasi hakim untuk menghasilkan putusan yang merepresentasikan sentimen serupa. Sebaliknya, bacaan hakim terhadap opini publik justru memunculkan simpati hakim terhadap diri terdakwa.

"Apakah aktif memperoleh dan mempertimbangkan hal-hal yang tidak dihadirkan di persidangan merupakan kerja yudisial yang dapat dibenarkan? Seberapa jauh hakim dibolehkan membuka diri terhadap pengaruh opini khalayak? Juga, ketika pada akhirnya hakim bersimpati pada terdakwa akibat unsur ekstrayudisial tersebut, apakah itu pertanda terusiknya objektivitas hakim? Dibutuhkan kajian dan penyikapan serius tentang itu. Termasuk dengan mengecek seberapa jauh kode etik dan pedoman perilaku hakim telah menyentuh masalah tersebut," ujar Reza.