Masih banyak cacat, Presiden diminta terbitkan Perppu pembatalan RUU Kesehatan

Proses pembahasan RUU Kesehatan dinilai terburu-buru dan tidak transparan. Selain formil, sejumlah aspek materiil belum tuntas dibahas.

Foto: Ist

Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) mengecam keras pengesahan Rancangan Undang-Undang Kesehatan atau Omnibus Law Kesehatan menjadi undang-undang. Pihaknya mendesak Presiden untuk meninjau dan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan Undang-Undang Kesehatan yang baru saja disahkan DPR RI.

Founder dan CEO CISDI, Diah Satyani Saminarsih mengatakan, ada sejumlah masalah dalam risalah RUU tersebut, seperti penghapusan mandatory spending sektor kesehatan sebesar 10% dari APBN dan APBD, beberapa kebijakan yang belum inklusif gender dan kelompok rentan. Adapula, peran kader kesehatan yang belum dilembagakan, hingga belum dimasukkannya pasal pengaturan iklan, promosi, dan sponsorship tembakau dalam RUU Kesehatan.

“Pengesahan RUU Kesehatan menjadi undang-undang membuktikan pemerintah dan DPR RI mengabaikan aspirasi masyarakat sipil. Kami mengecam proses perumusan undang-undang yang seharusnya inklusif, partisipatif, transparan, dan berbasis bukti,” katanya dalam keterangan, Selasa (11/7).

Diah menerangkan, penyusunan RUU Kesehatan dilakukan terburu-buru dan tidak transparan. Beberapa indikasinya adalah proses konsultasi yang singkat dan tidak dipublikasikannya naskah final kepada publik secara resmi sebelum pengesahan. 

Diah mengatakan, penyusunan RUU Kesehatan tertutup. Ini ditandai absennya informasi publik mengenai naskah final rancangan yang sudah disahkan menjadi undang-undang. Selepas Komisi IX DPR menggelar rapat kerja pengambilan keputusan RUU Kesehatan bersama pemerintah di Gedung DPR, 19 Juni 2023, naskah terbaru masih tak jelas keberadaannya.