Bukit Algoritma dan skandal di lembah teknologi

Indonesia merencanakan pembangunan Bukit Algoritma saat eksodus bisnis tengah terjadi di Silicon Valley.

Ilustrasi perusahaan startup yang gagal. Alinea.id/Oky Diaz

Saat kali pertama menginjakkan kaki di Stanford University, Elisabeth Holmes adalah mahasiswi yang kepalanya penuh dengan gagasan-gagasan futuristik. Masih berusia 18 tahun, ia bahkan punya mimpi menciptakan sebuah patch (tambalan) digital yang mampu memindai infeksi di tubuh penggunanya dan menginjeksi antibiotik. 

Holmes terobsesi dengan ide itu. Pada suatu kesempatan, ia curhat ke Phyllis Gardner, seorang profesor bidang medis di Stanford University. Sang profesor bilang tak mungkin antibiotik yang ingin diinjeksi ke tubuh pengguna bisa disimpan dalam sebuah patch kecil. 

"Dia seorang anak muda yang hanya punya pengalaman ikut pelatihan engineering mendasar dan sama sekali tidak punya pengalaman medis," kata Gardner saat mengenang Holmes seperti dikutip dari The Wallstreet Journal. 

Meski gagasannya dianggap mustahil, Holmes menolak kalah. Pada 2003, Holmes drop out dari Stanford University dan merintis perusahaannya sendiri, Theranos. Setelah memeroleh investasi yang cukup, ia memulai eksperimen untuk merealisasikan gagasan tersebut.

Pada 2014, Holmes menamai alat yang ia kembangkan TheraPatch. Namun, sebagaimana ramalan Gardner, TheraPatch ternyata terlalu futuristik. Holmes pun mengerucutkan risetnya pada pengembangan mesin portabel yang bisa menganalisis lusinan tes laboratorium hanya dari setetes darah pasien.