Cerita dari mereka yang bertahan di Pulau Pari

Terusir dari tanah sendiri, upaya privatisasi Pulau Pari oleh PT Bumi Pari Asri tak urung membuat warga setempat berupaya merebutnya.

Bibir pantai di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakart utara. (Ayu/ Alinea)

Seperti biasa, lepas Shubuh, Suhandi bertolak ke dermaga Pari, Kepulauan Seribu, yang berjarak hanya seratus meter dari kediamannya. Hari itu, Minggu (1/4) ia memeriksa kesiapan kapal yang sedianya akan mengangkut 200 penumpang ke Pelabuhan Muara Angke, Jakarta. “Dari lahir di sini, besar di sini, kerja ikut kapal orang juga sudah lama,” tutur pria yang akrab disapa Bang Andi ini.

Kapal berkelir biru tempat Andi bekerja, bukan moda transportasi laut satu-satunya yang mondar-mandir Pari-Angke. Ada belasan kapal berjenis predator, maupun perahu nelayan yang rutin merapat di bibir pantai, sejak Pari mulai ramai pada 2010. Sebelumnya, destinasi wisata Kepulauan Seribu hanya berpusat di Pramuka, Tidung, dan pulau kecil lain seperti Onrust, Bidadari, Kelor, dan Cipir. Namun berbeda dengan saat ini, Pari menurut Jakartatourism menjadi salah satu tujuan pilihan jika menyambangi Kepulauan Seribu.

Adalah Andi yang berjasa mengenalkan pulau yang mulai ramai dihuni warga Tangerang, Banten yang menolak kerja paksa Belanda, sejak 1900-an ini. Andi menjadi salah satu perintis wisata Pari bersama sejumlah warga lainnya. Untuk membuat Pari naik kelas, sebuah pantai bertitel “Pantai Perawan” pun disulap sedemikian rupa. Pantai berpasir putih, laut jernih, air tenang tak bergelombang, dan dikelilingi barisan hutan bakau menjadi daya tarik tersendiri. Warga yang mulanya bergantung dari hasil tangkapan ikan di laut pun ramai-ramai ikut membangun Pari sebagai lokasi wisata.

Sejak saat itu, ekonomi Pari menggeliat. Aneka homestay berjamuran, rumah makan, warung kudapan dan mie instan yang nikmat disantap di pinggir pantai pun dibuat. Singkatnya, hampir semua warga mulai menjadi pelaku aktif mengembangkan parawisata setempat. Seluruhnya menurut Andi dikelola secara swadaya, uang jasa toilet, retribusi masuk pantai digunakan untuk biaya perawatan fasilitas bersama dan penjagaan kebersihan.

“Semua berubah sejak pulau ini mulai dilirik pengembang,” keluh Andi pada Alinea. Ia mengenang, sekitar 2011 pantai yang hanya berjarak 45 kilometer dari ibu kota itu didaku sebagai milik PT Bumi Pari Asri, anak perusahaan Bumi Raya Utama Group milik klan konglomerat Adijanto Priosoetanto. Tak tanggung-tanggung, perusahaan tersebut mengklaim telah memiliki akta jual beli tanah seluas 23,1 hektare di Pulau pari, melampaui separuh luas pulau.