Pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka (Prabowo-Gibran) diminta serius mengakselarasi reforma agraria yang tersendat pada era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin berharap konflik-konflik agraria surut pada era Presiden Prabowo.
"Rencana pembenahan sawit dalam kawasan hutan bisa jadi momentum jika diselaraskan dengan reforma agraria. Diperkirakan terdapat 3 juta hektare kebun sawit di dalam kawasan hutan. Setengahnya adalah milik perusahaan," kata Iwan kepada Alinea.id, Senin (3/3).
Belum lama ini, Kementerian Kehutanan merilis surat keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor 36 Tahun 2025 yang mengatur pemutihan sekitar 800 ribu hektare kebun sawit di kawasan hutan. Berdasarkan SK itu, ada 436 perusahaan perkebunan sawit beroperasi di kawasan hutan tanpa perizinan sah.
Sekitar 790.474 hektare perkebunan sawit masih sedang diproses untuk memenuhi kriteria aturan pengelolaan kebun sawit di kawasan hutan. Kementerian menolak permohonan seluas 317.253 hektar kebun sawit karena tidak memenuhi kriteria Pasal 110A UU Cipta Kerja (UU Ciptaker).
"Jika diambil alih dan diberikan kepada rakyat dalam skema 70 persen plasma, maka ada 1 juta hektare. Ini bisa bermanfaat kepada 500 ribu kepala keluarga. Hal itu bisa terjadi kalau dijalankan secara transparan dan dengan pelibatan rakyat. Jika tidak, akan terjadi korupsi dan penyelewengan," kata Iwan.
Menurut catatan KPA, jumlah kasus konflik agraria terus naik dalam 10 tahun terakhir. Pada 2024, misalnya, jumlah kasus naik sekitar 21%, dari 241 peristiwa pada 2023 menjadi 295 kasus. Konflik ini terjadi di atas tanah seluas 1.113.577,47 hektar dan berdampak pada 67.435 keluarga di 349 desa.
Naiknya jumlah kasus, kata Iwan, tak bisa dilepaskan dari kebijakan-kebijakan yang lahir pada era rezim Jokowi. Ia mencontohkan penerbitan UU Ciptaker yang aturan turunannya memicu kemunculan kebijakan-kebijakan kontroversial, seperti pembentukan Bank Tanah, menghidupan kembali asas domein verklaring melalui kebijakan hak pengelolaan (HPL), dan food estate.
"Reforma agraria yang dijalankan pemerintah itu bisa dikatakan berhasil jika konflik agraria dijadikan lokasi penyelesaian dan pemulihan hak. Artinya, konflik menurun dan hak rakyat yang menjdi korban dipulihkan. Jadi, rakyat masih menunggu lampu hijau negara apakah akan segera menjalankan reforma agraria yang ditunggu dan memang dijanjikan pemerintahan ini," kata Iwan.
Dalam Asta Cita, janji kampanye Prabowo-Gibran di Pilpres 2024, disebutkan bahwa reforma agraria menjadi bagian penting untuk mewujudkan swasembada pangan, energi, air, ekonomi kreatif, ekonomi hijau, dan ekonomi biru.
Iwan menilai masih ada harapan reforma agraria bisa jalan pada era Prabowo-Gibran. Ia mencontohka penerbitan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penerbitan Kawasan Hutan. Pepres itu mengatur skema pengambilalihan kebun-kebun perusahaan untuk dikelola BUMN dan masyarakat setempat.
"Saya kira cukup baik sebagai awalnya. Kemudian melegalkan kebun rakyat di kawasan hutan kepada rakyat juga langkah tepat. Hanya mesti dipastikan individu yang memiliki luasan berlebih itu dipotong. Ini adalah langkah redistribusi paling mudah yang sudah dari dulu dinantikan," ucap Iwan.
Selama ini, menurut Iwan, banyak pengusaha perkebunan sawit yang menanam di atas lahan seluas 3 juta hektare. Mereka mengemplang pajak, menanam secara ilegal di kawasan hutan, dan bekerja sama dengan aparat nakal.
"Sebenarnya melibatkan aparat dalam penertiban untuk membuat perusahaan tunduk boleh saja. Tetapi, pemerintah Prabowo mesti memastikan penerima manfaat adalah rakyat. Jadi, organisasi- organisasi dan koperasi petani mesti dilibatkan juga," kata Iwan.
Periset dari Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Gutomo Bayu Ajie belum melihat komitmen nyata pemerintahan Prabowo-Gibran untuk membereskan konflik agraria warisan pemerintahan Jokowi. Menurut dia, narasi yang kadung beredar dan menjadi perbincangan publik justru bersifat kontradiktif, seperti food estate dan perluasan kebun sawit.
"Sedangkan warisan Jokowi sebelumnya hanya menekankan perhutanan sosial, memberi akses dalam pengelolaan hutan, bukan redistribusi lahan yang sesungguhnya. Tentu saja ini mengkhawatirkan apabila agenda reforma agraria ditinggalkan begitu saja. Obsesi menjadi negara industri yang maju akan lemah, bahkan tidak akan ada pondasinya," kata Gutomo kepada Alinea.id, Sabtu (3/3).
Lebih jauh, Gutomo tak yakin konflik-konflik agraria bisa surut pada era Prabowo-Gibran. Ia melihat pemerintah masih kesulitan dalam memediasi konflik antara pihak perusahaan dan masyarakat setempat.
"Komnas HAM dan Kementerian HAM belum menunjukkan keberhasilannya dalam penyelesaian konflik yang serius. Mungkin perlu lembaga mediasi yang dibentuk bersama berbagai pihak untuk memitigasi konflik itu," kata Gutomo.