Cerita mereka yang hengkang dari JAT

Dua eks anggota Jamaah Ansharut Tauhid berkisah tentang indoktrinasi mereka selama bergabung dalam kelompok ekstrem itu.

Slamet Karet dan Winarno Dahlan, eks anggota JAT yang kini aktif menyebarkan pesan kontra radikalisme. (Ayu Mumpuni/Alinea)

Medio 2000 lalu, Slamet Karet dan Winarno Dahlan masih ingat hari-hari di mana mereka masih menjadi bagian dari Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) pimpinan Abu Bakar Ba’asyir. Ikut kajian, pengajian yang rerata materinya membahas tentang konsep jihad dan takfiri (ajaran mengkafirkan sesama Muslim atau penganut agama lain.Red).

Saat Baasyir hengkang dari MMI pada 2008 lalu mendirikan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), setahun berselang keduanya turut bergabung dengan JAT. Namun, mereka hanya bertahan enam tahun. Pada 2014, Slamet dan Dahlan keluar dari JAT karena organisasi tersebut resmi menyatakan dukungan pada gerakan terorisme ISIS di Suriah. Keduanya mengaku tak sejalan dengan putusan JAT yang dideklarasikan di Bekasi ini.

Dahlan menceritakan, saat bergabung di JAT, jihad yang diajarkan kelompok tersebut sangat menyimpang dari makna yang sebenarnya. Bahkan, pembantaian sesama muslim menjadi salah satu yang dibenarkan. Padahal, sambungnya, pembantaian saudara seiman adalah kedzoliman yang tak diajarkan Islam. Sebaliknya, jihad yang mereka yakini adalah perjuangan mereproduksi kebenaran dan meneruskannya pada publik.

Slamet menambahkan, hal lain yang paling menonjol dalam penyimpangan JAT, yakni konsep men-takfiri seseorang yang tak sejalan dengan mereka. Selain itu, pembenaran atas bom bunuh diri oleh anggota JAT mendorong 85% anggotanya hengkang.

Lepas dari JAT, mereka memutuskan membentuk Jamaah Ansharut Syariah (JAS) yang sampai saat ini masih eksis. Kelompok ini menjadi penentang atas paham-paham ISIS dan menyatakan masih berpegang teguh untuk menyebarkan kebenaran.