sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Cerita mereka yang hengkang dari JAT

Dua eks anggota Jamaah Ansharut Tauhid berkisah tentang indoktrinasi mereka selama bergabung dalam kelompok ekstrem itu.

Ayu mumpuni
Ayu mumpuni Jumat, 27 Jul 2018 16:55 WIB
Cerita mereka yang hengkang dari JAT

Medio 2000 lalu, Slamet Karet dan Winarno Dahlan masih ingat hari-hari di mana mereka masih menjadi bagian dari Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) pimpinan Abu Bakar Ba’asyir. Ikut kajian, pengajian yang rerata materinya membahas tentang konsep jihad dan takfiri (ajaran mengkafirkan sesama Muslim atau penganut agama lain.Red).

Saat Baasyir hengkang dari MMI pada 2008 lalu mendirikan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), setahun berselang keduanya turut bergabung dengan JAT. Namun, mereka hanya bertahan enam tahun. Pada 2014, Slamet dan Dahlan keluar dari JAT karena organisasi tersebut resmi menyatakan dukungan pada gerakan terorisme ISIS di Suriah. Keduanya mengaku tak sejalan dengan putusan JAT yang dideklarasikan di Bekasi ini.

Dahlan menceritakan, saat bergabung di JAT, jihad yang diajarkan kelompok tersebut sangat menyimpang dari makna yang sebenarnya. Bahkan, pembantaian sesama muslim menjadi salah satu yang dibenarkan. Padahal, sambungnya, pembantaian saudara seiman adalah kedzoliman yang tak diajarkan Islam. Sebaliknya, jihad yang mereka yakini adalah perjuangan mereproduksi kebenaran dan meneruskannya pada publik.

Slamet menambahkan, hal lain yang paling menonjol dalam penyimpangan JAT, yakni konsep men-takfiri seseorang yang tak sejalan dengan mereka. Selain itu, pembenaran atas bom bunuh diri oleh anggota JAT mendorong 85% anggotanya hengkang.

Lepas dari JAT, mereka memutuskan membentuk Jamaah Ansharut Syariah (JAS) yang sampai saat ini masih eksis. Kelompok ini menjadi penentang atas paham-paham ISIS dan menyatakan masih berpegang teguh untuk menyebarkan kebenaran.

Gaungnya kelompok ini relatif terasa di seluruh wilayah Indonesia. Bahkan, mereka menjadi bagian dari program kontra radikal yang digagas Polri, guna mencegah penyebaran paham-paham radikal.

“Dengan beliau berdua ini, kami sangat terbantu sekali untuk mengatasi Islam garis keras di sini,” kata Wakapolres Malang Kompol Deky Hermansyah.

Slamet dan Dahlan memang merupakan mantan orang yang pernah terjun dalam paham-paham terorisme, sebelum akhirnya bertemu dengan Ketua MUI Malang KH Fadhol Hija. Diakui, mereka telah mendalami berbagai konsep jihad, termasuk makna jihad yang sesungguhnya sesuai pandangan Islam. Pengalaman mereka ini yang kemudian diaplikasikan dalam pengajaran jihad sesuai Islam.

Sponsored

Slamet sendiri menuturkan, beberapa kawan yang masih bertahan sebagai anggota JAT masih menudingnya sebagai jihadis yang sudah lemah iman. Bahkan, untuk 'mengembalikan' Slamet ke JAT, sepuluh penyusup sengaja dikirim untuk menjadi spionase kegiatan JAS. Namun, upaya memata-matai ini segera terendus Slamet.

“Saya minta tanda tangan surat pernyataan keluar, terus dia berangkat ke Suriah. Pas pulang empat orang, benar saja langsung ketangkap Densus,” tandasnya.

Menjadi bagian dari program kontra radikal Polri tak mudah bagi keduanya. Meskipun sudah pernah berada dalam kelompok Islam garis keras, keduanya masih merasa sulit mendeteksi kelompok-kelompok radikal kecil yang ada. Sebab, kelompok kecil tersebut biasanya sangat bersifat eksklusif.

Dengan 3000 anggota JAS di berbagai wilayah Indonesia, melalui keduanya mengaku akan terus konsisten melawan paham-paham radikal yang ada dengan membantu program-program Polri. Tak hanya itu, keduanya selalu aktif menggelar pengajian-pengajian terbuka agar kekeliruan jihadis tak kian merajalela.

Berita Lainnya
×
tekid