Dari 2016 hingga Juni 2020, 288 PMI korban TPPO ajukan perlindungan ke LPSK

Sebagian besar PMI telah bermasalah sejak proses pengirimannya yang nonprosedural.

Sejumlah pekerja migran Indonesia dari Malaysia yang dideportasi menerapkan jaga jarak dengan duduk berbaris untuk menjalani pendataan di PLBN Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalbar, Kamis (23/4/2020). Foto Antara/Agus Alfian

Berdasarkan catatan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), hanya 25% dari total pekerja migran Indonesia (PMI) yang diberangkatkan agen resmi. Artinya, sebagian besar PMI telah bermasalah sejak proses pengirimannya yang nonprosedural.

Pemalsuan dokumen seperti KTP, paspor dan buku pelayar umum dialami para korban perdagangan orang ini. Pemalsuan sertifikat pelaut yang terungkap oleh Polda Metro Jaya pada Juni, membuktikan hal itu. 

“Pemalsuan dokumen merupakan salah satu cara pelaku TPPO (tindak pidana perdagangan orang) mempermudah para korban dipekerjakan,” ujar Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi dalam keterangan tertulis, Senin (8/3).

Dari 2016 hingga Juni 2020, sebanyak 288 PMI korban TPPO mengajukan permohonan perlindungan ke LPSK. Sebanyak 153 PMI korban TPPO adalah perempuan. Bahkan, sebanyak 10 PMI korban TPPO masih anak-anak.

Sementara itu Wakil Ketua LPSK Livia Iskandar mengatakan, kawasan Timur Tengah masih menjadi wilayah tujuan favorit bagi PMI. Khususnya, Arab Saudi. Ironisnya, sebagian besar korban TPPO juga dikirim ke negara-negara berkonflik, seperti Sudan dan Suriah.