Di balik karut-marut reorganisasi Kebun Raya Bogor

Isi kontrak antara pihak swasta dan LIPI terkesan dirahasiakan. Kewenangan Kepala KRB diambil-alih sejumlah direktur di BRIN.

Ilustrasi Kebun Raya Bogor. Alinea.id/Firgie Saputra

Kabar mengenai matinya sejumlah anggrek di tempat penampungan sementara di Kebun Raya Bogor (KRB), Jawa Barat, beberapa waktu lalu, bikin sejumlah eks Kepala KRB gusar. Diinisiasi eks Kepala KRB periode 1981-1983 Made Sri Prana, sejumlah mantan pemimpin KRB sepakat patungan untuk membeli paranet demi menyelamatkan angrek-angrek yang masih hidup.

"Pak Made yang paling senior bilang, 'Masak enggak bisa (merawat) begitu. Berapa biayanya?" Akhirnya dihitung hampir Rp5 juta. Saya bilang, 'Ya, sudah beli (paranet) saja segera. Nanti keburu mati.' Minta (anggaran) sana-sini juga repot,” kata Kepala Kebun Raya Bogor periode 1997-2003, Dedy Darnaedi kepada Alinea.id, Senin (4/10). 

Paranet adalah jaring khusus yang lazimnya berfungsi untuk menaungi tanaman dari sinar matahari. Sejumlah tanaman seperti mawar, anggrek, anyelir, dan tomat umumnya bakal layu jika kebanyakan menerima sinar matahari dengan intensitas tinggi. 

Di KRB, tanaman anggrek ditempatkan di area taman anggrek dan tempat penampungan sementara. Anggrek yang di area taman relatif terawat setelah taman itu dipugar Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pada akhir 2019, sedangkan anggrek di tempat penampungan umumnya terbengkalai. 

Selain Made dan Dedy, tiga eks Kepala KRB lainnya juga turut menyumbang duit untuk membeli paranet, yakni Usep Soetisna, Suhirman, dan Irawati. Menurut Dedy, ini kali pertama para "sesepuh" kebun botani itu harus patungan membeli peralatan untuk perawatan tanaman koleksi.