Dari Gag hingga Enggano: Nestapa pulau-pulau kecil yang "diabaikan" negara
Setelah kasus kerusakan lingkungan akibat penambangan di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat terungkap, pulau-pulau kecil jadi sorotan. Belum lama ini, Pemprov Aceh dan Sumatera Utara memperebutkan empat pulau kecil di perbatasan kedua provinsi.
Pulau-pulau yang diperebutkan, yakni Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, dan Pulau Lipan. Konon, keempat pulau itu menyimpan cadangan sumber daya alam yang melimpah. Konflik antara dua provinsi baru tuntas setelah Presiden Prabowo Subianto turun tangan.
Sengketa serupa juga sempat dialami Trenggalek dan Tulungagung menyoal pengelolaan 16 pulau pesisir di perairan selatan Jawa Timur. Belakangan, Kementerian Dalam Negeri (Kemendari) menetapkan ke-16 pulau itu di bawah wilayah administrasi Jawa Timur.
Tak hanya itu, jagat media sosial juga sempat dihebohkan oleh kabar penjualan pulau-pulau kecil di Kepulauan Anambas, Provinsi Kepulauan Riau di situs web Privateislandsonline.com. Pemerintah sudah membantah penjualan pulau-pulau tersebut.
Kasus yang paling ironis adalah protes masyarakat Pulau Enggano yang terisolir berbulan-bulan. Sejak Maret 2025, transportasi laut ke Pulau Enggano berhenti beroperasi akibat pendangkalan alur masuk di Pelabuhan Pulau Baai, Bengkulu.
Imbasnya, perekonomian masyarakat Pulau Enggano nyaris lumpuh. Daya beli masyarakat anjlok. Hasil bumi pertanian seperti pisang tidak bisa terjual dan busuk. Dampak rentetan lainnya adalah terganggunya distribusi BBM dan padamnya listrik.
Peneliti kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Andy Ahmad Zaelany mengatakan kasus kerusakan lingkungan di Pulau Gag dan sengketa perebutan pulau-pulau antara sejumlah daerah mengindikasikan pulau-pulau kecil kerap hanya dianggap objek pembanguan. Negara masih mempersepsikan pulau-pulau dipisahkan oleh laut, bukan "disatukan" oleh laut.
"Perspektif yang salah itu menyebabkan pemerintah seringkali abai terhadap keberadaan pulau-pulau. Contoh yang nyata, tidak semua pulau itu diberi nama. Bahkan, negara sendiri mungkin tidak tahu pasti berapa sebenarnya jumlah pulau yang ada di Indonesia. Tidak mengherankan pulau-pulau di perbatasan disambar oleh negara tetangga," kata Andy kepada Alinea.id, Sabtu (28/6).
Pemetaan pulau-pulau urgen dilakukan pemerintah. Tanpa perlindungan terhadap pulau-pulau kecil, menurut Andy, negara seolah kurang peduli pada sumber daya perikanan dan kelautan yang dicuri secara ilegal. Pemerintah terkesan baru heboh saat kasus pencurian ikan terungkap.
"Kita baru teriak-teriak setelah mengetahui besarnya potensi pulau yang dicaplok, tapi terlambat sudah dikuasai penuh oleh negara lain seperti kasus Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang menjadi wilayah Malaysia," kata dia.
Seyogyanya, pulau-pulau di Indonesia diberi nama. Selain itu, ada prasasti atau tugu batas yang menandai pulau-pulau itu milik NKRI. Jangan sampai pulau-pulau kosong yang sejak lama dirawat oleh masyarakat baru digarap saat dibutuhkan negara.
"Padahal, kalau ditanyakan penduduk di dekat sana, di pulau kosong itu sudah ada batas-batas tanah milik orang lokal. Bukannya pulau tak bertuan. Namun, pemerintah yang tak menguasai dan memahami kondisi wilayah menganggapnya wilayah kosong dan menganggapnya sebagai tanah milik negara sepenuhnya yang bisa dieksploitasi semau pemerintah," kata Andy.
Kondisi itulah yang menyebabkan negara kerap berkonflik dengan masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil. Apalagi, hukum adat kerap diabaikan dan masyarakat kepulauan dipaksa menerima aturan dari pusat tanpa menimbang kekhasan dari nilai-nilai adat tertentu.
"Hukum adat yang sudah berlaku semenjak ratusan tahun yang lalu. Sifat pluralitas hukum di Indonesia seringkali diabaikan, hanya hukum positif yang diberlakukan. Padahal, realitas di masyarakat berlaku hukum adat dan juga hukum agama," kata Andy.
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati membenarkan masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil kerap dianggap numpang hidup di atas tanah negara. Walhasil, pulau kecil hanya dijadikan objek pembangunan.
Itu setidaknya terlihat dari program hilirisasi nikel yang dikebut sejak era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Di banyak pulau kecil, penambangan nikel seolah menafikan dampak terhadap lingkungan dan keberadaan warga setempat.
"Kandungan nikel Indonesia dominan terkandung di wilayah tersebut (pesisir dan pulau kecil). Kementerian ESDM tahun 2019 mencatat bahwa Indonesia merupakan negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia. Cadangan nikel dunia mencapai sekitar 139 juta ton, sedangkan cadangan nikel Indonesia mencapai 72 juta ton atau menjadi negara yang menyimpan 52% cadangan nikel dunia,” kata Susan kepada Alinea.id.
U.S. Geological Survey (2025) mencatat bahwa total produksi nikel Indonesia sejak 2019 hingga 2024 adalah berkisar 8.381.000 ton. Sedangkan sejak 2022 hingga 2024, produksi nikel Indonesia sudah mencapai 50% dari produksi nikel dunia.
Susah mengatakan tingginya produksi nikel Indonesia merupakan konsekuensi program hilirisasi nikel pemerintah. Seiring itu, selama bertahun-tahun, proyek hilirisasi nikel itu telah berdampak negatif bagi masyarakat kepulauan dan pesisir di berbagai belahan Indonesia.
"Kami mencatat bahwa pertambangan nikel di pesisir dan pulau-pulau kecil berdampak pada berbagai hal, yaitu pencemaran air sungai, perubahan warna perairan laut, berkurangnya hasil tangkapan nelayan tradisional, hilangnya akses masyarakat pesisir dan pulau kecil atas ruang hidupnya seperti kebun dan mata air, relokasi, hingga kriminalisasi," kata Susan.


