Konflik gajah sumatera dan warga Bengkalis: Mengapa terus terjadi?
Konflik manusia dan gajah di ladang sawit kembali terjadi. Belum lama ini, seorang perempuan bernama Natalia Manalu (38) tewas diserang gajah sumatera di ladang sawit garapannya dalam kawasan hutan di Kabupaten Bengkalis, Riau.
Kejadian bermula saat Natalia bersama suaminya, Oslen Panjaitan (43), sedang tidur di sebuah pondok di kebun sawit mereka di Desa Tasik Serai, Kecamatan Talang Muandau, Bengkalis, Rabu (6/8) lalu. Sekitar pukul 04.00, mereka mendengar suara gajah.
Oslen dan Natalia lantas keluar pondok dan menemukan seekor gajah tengah berada di kebun sawit. Saat diusir, sang gajah malah mengejar mereka. Oslen berupaya mengalihkan perhatian—hingga ia jatuh ke parit—agar gajah itu mengejarnya.
Namun, sang gajah malah mengejar Natalia yang ketika itu menyalakan senter mancis. Setelah matahari terbit sekitar jam 06.00, Oslen mendapati Natalia sudah tidak bernyawa.
Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau Supartono mengatakan telah menurunkan tim untuk melihat situasi terkini di lokasi dan memasang kamera jebak (camera trap). Jika gajah masih berada di sekitar lokasi, tim akan melakukan penggiringan untuk menjauh.
Namun demikian, tim BBKSDA belum bisa melacak gajah yang menyerang warga tersebut. "Lokasi kejadian tidak jauh dari Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil,” kata Supartono kepada wartawan, Jumat (8/8).
Gajah merupakan salah satu satwa liar yang memiliki insting kuat dan selalu bergerak dengan jalur jelajah yang tetap. Supartono pun mengimbau masyarakat agar tidak membuka hutan di wilayah habitat gajah dan harimau.
Ini bukan kali pertama gajah menyerang warga di jalur jelajah mereka. Pada Desember 2024, seorang warga penggarap lahan tewas diserang sekelompok gajah liar di kawasan hutan lindung yang menyangga Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Kecamatan Bandar Negeri Semuong, Kabupaten Tanggamus, Lampung.
Gajah-gajah itu dilaporkan menyerang warga ketika dihalau saat memakan pisang di areal yang digarap menjadi kebun warga di Bandar Negeri Semuong, Tanggamus. Sebelum beralih fungsi menjadi kebun pisang, area itu adalah kawasan hutan yang menjadi habitat gajah.
Direktur Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) Riau Boy Even Sembiring mengatakan gajah liar kerap bersinggungan dengan warga lantaran habitatnya terus menipis. Saat ini, sudah hampir dua juta hektare kawasan hutan di Riau kini telah dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit.
Alih fungsi lahan kawasan hutan di Riau, kata Even, sudah berlangsung sejak 1990. Sayangnya, tidak ada tindakan tegas dari pemerintah pusat dan daerah untuk menahan laju deforestasi dan alih fungsi hutan yang menjadi habitat alami kawanan gajah.
"Lebih dari setengah daratan Riau telah dibebankan perizinan sector kehutanan, pertambangan, dan perkebunan. Dominiasi investasi membuat masyarakat mencari membuka ruang di lokasi-lokasi yang seharusnya difungsikan untuk kepentingan ekologis," kata Even kepada Alinea.id, Minggu (10/8).
Lemahnya penegakan hukum, kata Even, mengindikasikan ada persoalan di tubuh kepolisian dan Kementerian Kehutanan dalam 30 tahun belakangan. Tidak tertutup kemungkinan ada main mata antara aparat dan pengusaha sawit sehingga alih fungsi hutan bisa terus berjalan.
"Terlebih, penguasaan kebun-kebun di kawasan hutan diindikasikan dikuasai oleh pemodal-pemodal besar," kata Even.
Menurut Even, situasinya semakin buruk setelah pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Alih fungsi kawasan hutan semakin masif, sementara janji untuk merehabilitasi dan merestorasi kawasan hutan melalui skema Pasal 110A dan Pasal 110B UU Ciptaker minim dilaksanakan perusahaan.
"Malah penerbitan Perpres 5/2025 hanya dijadikan negara untuk melanjutkan aktivitas buruk di kawasan hutan. Dalam konteks ini, konflik tidak hanya melibatkan masyarakat dan perusahaan, melebar sampai konflik satwa vs masyarakat dan korporasi," kata Even.
Koordinator Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) Riau Zulhusni Syukri membenarkan ekspansi perkebunan sawit di habitat asli gajah liar di Riau sudah berlangsung selama puluhan tahun. Persoalannya jadi ruwet lantaran kelapa sawit merupakan salah satu makanan yang disukai gajah.
"Kawasan konservasi, taman nasional pun tidak luput dari kelapa sawit sebagai contoh Taman Nasional Tesso Nilo kehilangan hutan alam hingga 75% atau Suaka Marga Satwa Balairaja di Kabupaten Bengakalis yang hutan alamnya hilang hampir 100% dan berganti kelapa sawit," kata Zulhusni kepada Alinea.id, Minggu (10/8).
Zulhusni mengatakan konflik antara gajah dan warga setempat akan terus terjadi selama perkebunan sawit masih dibangun di kawasan hutan yang merupakan habitat asli gajah liar.
Kawanan gajah-gajah liar akan menerobos kebun-kebun sawit untuk mencari makan, sedangkan masyarakat setempat atau perusahaan pengelola perkebunan sawit akan berbagai upaya untuk "menghilangkan" gajah dari kawasan perkebunan.
"Konflik gajah itu terjadi hampir setiap hari di desa-desa yang berada di perlintasan gajah, terutama di malam hari karena gajah hewan nokturnal (aktif di malam hari)," kata Zulhusni.


