KPAI ungkap efek domino pernikahan dini

Parenting skill secara menyeluruh di daerah-daerah jadi kunci, dalam upaya pencegahan perkawinan usia anak.

Kampanye tolak pernikahan dini di India./AsianLite

Pernikahan dini di masyarakat dianggap menjadi persoalan pelik. Belakangan, pemberitaan mengenai hamilnya siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) akibat perbuatan anak laki-laki usia 13 tahun, menuai perhatian Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

“Dampak dari perkawinan usia anak sangat luar biasa, putusnya pendidikan, kemiskinan yang berulang, hingga aspek kesehatan yang tidak hanya berdampak bagi anak tersebut, namun juga bagi sumber daya manusia bangsa Indonesia,” ujar Komisioner KPAI bidang trafficking dan eksploitasi anak Ai Maryati Sholihah, Jakarta, Senin (28/5).

Berdasarkan data UNICEF, pada 2015 prevalensi perkawinan anak sebesar 23%. Bahkan kala itu, satu dari lima anak perempuan usia 20-24 tahun telah melakukan perkawinan pertamanya pada usia 18 tahun.

Menurut KPAI, beberapa kasus pernikahan dini dianggap sebagai solusi atas permasalahan hidup yang menimpa anak dan keluarganya. Padahal, imbuhnya, orang tua seharusnya menjadi pelindung dan pendidik utama yang dapat mencegah terjadinya hal tersebut.

Lebih lanjut, maraknya pernikahan dini disebabkan oleh kesadaran publik yang relatif minim soal ancaman yang berkelindan di baliknya.