Data United Nations Population Fund (UNFPA) mengungkapkan bahwa 43% remaja di Asia Tenggara hamil di luar nikah serta sebanyak 50% remaja yang belum menikah dan aktif secara seksual menolak untuk memakai kontrasepsi.
Berbeda dengan sebagian besar wilayah lain di dunia, Asia Tenggara mengalami peningkatan pada jumlah kehamilan remaja.
Salah satu alasannya, menurut Penasihat Regional untuk Remaja dan Anak Muda UNFPA Jo Sauvarin, adalah karena adanya hambatan pendidikan seksual.
Untuk mengatasi persoalan pernikahan dini dan kehamilan remaja yang meningkat di Asia Tenggara, Sauvarin mengatakan pemerintah perlu menggalakkan pendidikan seksualitas.
"Ada satu hal yang menonjol sebagai solusi baik untuk pernikahan anak maupun untuk mengurangi kehamilan remaja, itu adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan seksual bagi anak-anak, terutama anak perempuan," tutur Sauvarin dalam diskusi panel "Elimination of CEFM, pathways to gender equality and empowerment of women and girls-programme innovations and promising practices across ASEAN" di Sekretariat ASEAN, Jakarta, Rabu (6/3).
Pemerintah dengan bantuan ASEAN perlu memastikan bahwa anak-anak mendapatkan pendidikan berkualitas yang akan memungkinkan mereka untuk berpikir dan menemukan solusi untuk diri sendiri.
Oleh sebab itu, UNFPA menjalankan program pendidikan seksual komprehensif (CSE) di sejumlah sekolah di kawasan ASEAN.
"Di Asia Tenggara, cukup umum bagi anak laki-laki atau perempuan untuk tidak menerima informasi maupun pendidikan yang memadai terkait seksualitas. Hal itu dianggap tidak pantas untuk dibicarakan," kata dia.
Padahal CSE dapat dipandang sebagai fondasi untuk kehidupan dan hubungan percintaan, sesuatu yang perlu dipelajari untuk memiliki hubungan yang sehat saat sudah dewasa nanti.
Sauvarin mengatakan, CSE dapat diajarkan ke anak-anak mulai pada usia lima tahun karena pendidikan ini tidak hanya memberi informasi terkait seksualitas, tetapi juga mencakup topik-topik seperti toleransi, rasa hormat, keamanan, dan privasi.
Selain itu, CSE juga memiliki penekanan dan fokus kuat pada kesetaraan gender.
"CSE dapat meningkatkan norma kesetaraan gender dan berpotensi mengurangi kekerasan pada perempuan," tuturnya.
Untuk memaksimalkan pendidikan seksualitas itu, Sauvarin menyatakan perlunya peningkatan kapasitas, sikap, dan keterampilan tenaga pengajar.
"Di Indonesia, guru biasanya hanya berdiri di depan kelas dan memberi tahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan muridnya, itu harus diubah. Ubah metode pengajaran menjadi lebih interaktif dengan komunikasi dua arah," kata Sauvarin.
Mengubah perilaku seksual
Sauvarin memaparkan, pendidikan seksualitas komprehensif bagi anak-anak akan mengubah perilaku seksual mereka secara positif, termasuk munculnya sikap ingin menunda inisiasi hubungan seksual.
"Ini yang sering dikhawatirkan orang tua di Asia Tenggara, mereka mengatakan 'jika para guru mengajarkan tentang seks kepada anak saya, itu akan membuat anak saya pergi ke luar dan melakukan hubungan seks'. Yang terjadi benar-benar kebalikannya," jelasnya.
Menurut kajian UNFPA, anak-anak dan remaja yang telah terpapar CSE akan menunda hubungan seksual. Justru program yang hanya melarang remaja berhubungan seksual tanpa memberikan informasi atau latar belakang yang lebih jelas tidak menunda mereka untuk ingin berhubungan seksual.
"Kita perlu memahami kedua konsep ini dalam merancang program pendidikan seksual di sekolah. Sekolah perlu menciptakan lingkungan pendidikan di mana kaum muda dapat dengan mudah mendapat informasi memadai terkait seksualitas," lanjutnya.
Sebuah studi UNESCO mengungkapkan bahwa mayoritas negara di kawasan ASEAN sudah memberlakukan kebijakan yang mendukung CSE. Namun, proses penerapannya di kurikulum sekolah tidak selalu berjalan dengan lancar.
"Meski masih jauh jalannya, terlihat bahwa semakin banyak pemerintah negara-negara anggota ASEAN yang sadar adanya peningkatan kehamilan remaja sehingga mereka perlu beradaptasi dan mengatasi situasi itu," jelas dia.