FPI dilarang, pengamat: Anggota akan cari bentuk baru lebih destruktif

Pemerintah resmi melarang FPI beraktivitas mulai 30 Desember 2020.

Pengunjuk rasa dari FPI, LPI, dan FUI menggelar aksi di Bundaran HI, Jakarta, Senin (10/11/2014). Foto Antara/Reno Esnir

Akademisi Universitas Murdoch, Ian Douglas Wilson, menilai, pembubaran dan pelarangan aktivitas Front Pembela Islam (FPI) akan membuat pemerintah semakin sulit mengaturnya, termasuk mendeteksi anggotanya, sekalipun modal politik untuk memobilisasi massa coba dicegah.

"Tentu akan ada tantangan untuk bagaimana pelarangan ini dilaksanakan dan menghindari kemungkinan ada anggota atau simpatisan FPI yang teradikalisasi oleh pelarangan tersebut (bergerilya di media sosial seperti HTI)," ujarnya kepada Alinea.id, Rabu (30/12).

Menurut penulis buku Politik Jatah Preman; Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru ini, penting untuk memahami dorongan di balik popularitas FPI, organisasi yang didirikan Muhammad Rizieq Shihab.

Jika dorongan popularitas tersebut tidak dapat diatasi, anggota dan simpatisan FPI diyakininya akan mencari bentuk baru yang mungkin lebih destruktif usai eksistensi dilenyapkan dan aktivitasnya dilarang.

"Apakah itu (dorongan popularitas FPI) 'politik moralitas' sebagai tanggapan terhadap berbagai tekanan sosial dan ekonomi atau hal lain? Kalau driver popularitas tersebut tidak ditangani dan ditanggapi, akan mencari bentuk baru yang mungkin lebih destruktif," tutur Ian.