Getir perempuan kepala keluarga: Pandemi adalah masa terberat dalam hidup saya 

Sebagian besar perempuan yang berstatus sebagai kepala keluarga perekonomiannya terpuruk selama pandemi Covid-19.

Ilustrasi perempuan yang berstatus sebagai keluarga. Alinea.id/Firgie Saputra

Dua tahun terakhir merupakan masa-masa yang paling berat bagi Sri Wahyuningsih. Setelah ditinggal suami yang meninggal karena penyakit paru pada 2019, perempuan berusia 45 tahun itu sendirian menghadapi pandemi Covid-19. Demi bertahan hidup, beragam pekerjaan tambahan ia lakoni. 

"Saya menanggung dua anak yang satunya kelas 5 SD satunya lagi 2 SMP. Stagnan saya di awal-awal (pandemi). Enggak tahu harus bagaimana," ujar Sisi, sapaan akrab Sri, saat berbincang dengan Alinea.id, Kamis (7/10). 

Sehari-hari, Sisi bekerja sebagai guru Taman Kanak-kanak (TK) Raudatul Athfal Sirojul Huda di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Saat pandemi memburuk, TK itu turut terpukul. Jumlah murid TK berkurang drastis lantaran tak banyak orang tua yang mau menyekolahkan anak-anak mereka di tengah ancaman virus. 

Situasi tersebut berdampak pada penghasilan Sisi. Sejak pandemi, TK tempatnya bekerja memberlakukan pemotongan gaji karyawan dengan kisaran 50-60%. "Saya hanya menerima gaji Rp 700 ribu sebulan," ungkap Sisi. 

Meskipun berstatus sebagai ibu tunggal, nama Sisi juga tak tercatat sebagai penerima beragam bantuan sosial yang digelontorkan pemerintah saat pandemi. Itu karena Sisi kini tinggal di Sawangan, Bogor. Di kartu keluarga (KK), Sisi masih beralamat di Jakarta.