Identitas dan hak-hak warga penghayat kepercayaan

Saat ini, menurut Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) DKI Jakarta, ada 105 warga penganut kepercayaan yang terdata.

Warga Suku Anak Dalam (SAD) atau Orang Rimba Jambi, Nyanggo (75, kiri) dan Nerawa Sanggul (70, kanan) menunjukkan e-KTP miliknya saat ditemui di permukiman Orang Rimba Temenggung Carak, Bukit Bungkul, Renah Pamenang, Merangin, Jambi, Senin (25/2). /Antara Foto.

Pada 2017 Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan keputusan tentang pencantuman penghayat kepercayaan dalam kolom agama di kartu tanda penduduk elektronik (KTP el) dan kartu keluarga (KK).

Keputusan tersebut dikeluarkan, usai MK menerima gugatan para penggagas judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk) Pasal 61 ayat 1 dan 2, serta Pasal 64 ayat 1 dan 5 juncto Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Adminduk.

Di dalam putusannya, MK menyatakan agama dalam Pasal 62 ayat 1 dan Pasal 64 ayat 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Adminduk bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, dan tak punya kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tak termasuk penghayat kepercayaan.

Di dalam Pasal 61 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013, KK memuat keterangan nomor KK, nama lengkap kepala keluarga dan anggota keluarga, nomor induk kependudukan (NIK), jenis kelamin, alamat, tempat dan tanggal lahir, agama, pendidikan, pekerjaan, status pernikahan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen imigrasi, dan nama orang tua.

Sedangkan di dalam Pasal 61 ayat 2, keterangan kolom agama seperti yang dimaksud pada ayat 1, bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi penganut kepercayaan, tidak diisi. Namun, tetap dilayani dan dicatat dalam basis data kependudukan.