Greenpeace: Indonesia posisi 'buncit' pengembangan energi terbarukan

Greenpeace menilai, Indonesia masih berkutat pada perluasan energi kotor.

Ilustrasi. Pixabay

Indonesia mendapatkan nilai terburuk dalam pengembangan energi terbarukan dibandingkan tujuh negara lain di Asia Tenggara yang diriset Greenpeace, organisasi kampanye lingkungan nirlaba. Posisi teratas ditempat Vietnam dengan status "pemimpin dalam desain pasar tenaga surya dan angin".

"Vietnam memiliki nilai terbaik dengan nilai C, disusul Filipina, Malaysia, dan Thailand dengan nilai D. Indonesia memiliki nilai terendah di Asia Tenggara dengan nilai F di bawah Laos, Kamboja, dan Myanmar," ujar Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, Tata Mustasya, dalam webinar, Rabu (23/9).

Indonesia, menurutnya, masih berkutat pada perluasan energi kotor, seperti batu bara atau pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Dari tingkatan ekstraksi bahan baku hingga menghasilkan listrik, PLTU menimbulkan kerusakan lingkungan dan emisi gas rumah kaca terbesar.

Nilai F diberikan lantaran oligarki di industri batu bara menyisakan sedikit ruang bagi pengembangan energi terbarukan, sehingga menghambat transisi energi dan terjadi kegagalan sistemik. Padahal, potensi produksi listrik tenaga surya dan angin tergolong besar.

Penetapan harga, kerangka kerja yang buruk, dan pengambilan keputusan ad hoc untuk energi baru terbarukan (EBT) mencerminkan adanya hambatan bersifat kelembagaan. Di sisi lain, Indonesia tidak mungkin mencapai target (komitmen iklim) 1,5 derajat celcius sebelum 2030.