Ini yang membuat Covid-19 di Bali terkendali

Pranata adat serta faktor sosial-budaya berperan besar dalam membentuk persepsi risiko di masyarakat.

Ilustrasi Bali / Pixabay

Tiga bulan lebih Neni, bukan nama sebenarnya, mengisi waktu dengan mengurus cucu di rumah. Itu dilakukan sembari berjualan makanan dan membuka warung di depan rumah. 

Sejak pandemi Covid-19 muncul, hari-hari banyak dihabiskan di rumah. Ia tidak pernah keluar jauh dari rumah. Sekolah cucu Neni juga diliburkan akibat pandemi. "Saya tidak pernah ke mana-mana. Saya di rumah saja," kata Neni berkali-kali, disitat dari riset sosial SMERU, Minggu (19/7).

Berjualan keripik dilakoninya sejak pandemi Covid-19. Selain menjual di depan rumah, dia juga menjajakan makanan ringan itu secara daring. Sejauh ini pembelinya kebanyakan tetangga dekat rumah.

"Saya takut dengan risiko sanksi adat dan takut risiko kena corona kalau saya keluar-keluar rumah," ujar Neni.

Neni merupakan satu dari ribuan warga yang berkomitmen menerapkan pembatasan fisik di tempat tinggalnya di sebuah desa di Kabupaten Badung, Bali. Berbeda dengan daerah lain, di Bali pembatasan fisik telah melebur ke dalam peraturan adat.