Kata pakar hukum soal pernyataan JPU yang meringankan terdakwa KM50

Sebab, jarang sekali seorang jaksa penuntut memberikan pendapatnya untuk meringankan terdakwa

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kembali menghelat sidang lanjutan terkait kasus Unlawfull Killing atau meninggalnya empat laskar Front Pembela Islam (FPI) di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek pada Selasa (21/12). Foto: Alinea.id/Alvin Aditya Saputra

Jaksa penuntut umum (JPU) menuntut kedua terdakwa kasus unlawful killing, Ipda M. Yusmin Ohorella dan Briptu Fikri Ramadhan, enam tahun penjara. Alasannya, telah lama menjadi anggota Polri dan peristiwa terjadi saat keduanya bertugas.

Guru Besar Bidang Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Hibnu Nugroho, memandang, alasan tersebut lumrah sekaligus ambigu. Sebab, jarang sekali seorang JPU memberikan pendapatnya untuk meringankan terdakwa, apalagi keringanan menjadi ranah hakim.

“Agak aneh, makanya ambigu. Tapi, paling tidak kalau berpikir positif, mengingatkan kepada hakim untuk suatu pertimbangan, kan, objektif. Jarang, sih, seorang penuntut yang namanya menutut sesuai fungsi penuntutan, tapi di alam penuntutan itu ada faktor-faktor sisi yang mungkin bernilai positif," katanya saat dihubungi Alinea.id, Selasa (22/2).

Menurut Hibnu, pernyataan JPU tidak lain adalah informasi yang dapat menjadi pertimbangan bagi hakim untuk mengambil memutuskan perkara tersebut. Sehingga, bukan sebagai anggapan, jaksa penuntut berada di pihak pembela karena JPU adalah perwakilan negara di "meja hijau".

Dirinya menambahkan, pernyataan keringanan itu tidak ada landasan hukum, berbeda dengan tuntutan. Namun, itu berlandaskan norma dan faktor sosiologis dan sensitivitas seorang jaksa sebagai manusia.