Keliru, tangani Covid-19 pakai darurat sipil

Seharusnya pemerintah memberlakukan karantina wilayah (lockdown).

Polisi mengatur lalu lintas di Jalan Dr. Cipto Mangunkusumo, Sidoarjo, Jatim, Sabtu (28/3/2020). Foto Antara/Umarul Faruq

Pemerintah dianggap keliru, apabila ingin memberlakukan darurat sipil dalam memerangi coronavirus anyar (Covid-19). Meskipun langkah itu dikombinasikan dengan pembatasan sosial skala besar.

"Tidak tepat. Kalau disebut-sebut darurat sipil, itu yang keliru sekali. Harusnya enggak dipakai sama sekali itu," kata pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, Senin (30/3).

Dia menerangkan, ketentuan darurat sipil diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Sementara, pembatasan sosial skala besar tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

"(Darurat sipil) itu zaman dulu banget. Yang inisiasinya dulu itu untuk memberantas pemberontakan tahun '59. Padahal, kita mau memberantas virus, nih. Bukan memberantas pemberontak," tuturnya.

Alasan kedua, penerapan darurat sipil dilakukan dengan pendekatan keamanan. "Misalnya membubarkan massa, menyadap telepon, mematikan internet. Itu bahkan pendekatan keamanan," ucapnya.