Kesaksian mantan pembunuh bayaran dan longgarnya pengawasan senjata api

Pembunuh bayaran sudah menjadi rahasia umum. Pelakunya terencana dan menggunakan senjata api.

Ilustrasi pembunuh bayaran. Alinea.id/Dwi Setiawan.

"Saya tergiur dengan bonus besar. Saya bisa dapat Rp100 juta waktu itu, sekali terima orderan," kata Alfredo—bukan nama sebenarnya, saat berbincang dengan reporter Alinea.id di sebuah kafe bilangan Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (19/8).

Orderan yang dimaksud pria berusia 45 tahun itu adalah menghabisi nyawa orang yang diminta kliennya alias menjadi pembunuh bayaran. Pekerjaan itu ia lakoni pada 2011.

Berawal dari petugas keamanan

Belasan tahun lalu, lelaki bertubuh kekar ini merantau dari Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) ke Jakarta. Awalnya, ia bekerja sebagai petugas keamanan di sebuah kelab malam. Ia melakoni pekerjaan itu selama lima tahun, berkali-kali pindah tempat kerja.

Selama menjadi petugas keamanan, ia membuka jaringan dengan orang-orang sekampung halaman di perantauan. Lalu, ia kerap menemani koleganya menjadi juru tagih utang, di sela-sela kesibukannya menjadi petugas keamanan. Berbekal kemampuan bela diri, ia mulai disegani.