close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Orang-orang yang diamankan polisi terkait aksi premanisme./Foto Instagram @divisihumaspolri
icon caption
Orang-orang yang diamankan polisi terkait aksi premanisme./Foto Instagram @divisihumaspolri
Sosial dan Gaya Hidup - Kriminal
Minggu, 01 Juni 2025 06:11

Seberapa efektif pemberantasan premanisme?

Polri masih menggelar razia anti-premanisme sejak awal Mei.
swipe

Berawal dari keresahan Presiden Prabowo Subianto terhadap maraknya premanisme berkedok organisasi kemasyarakatan (ormas) yang membuat iklim usaha menjadi tidak kondusif, Polri bergegas menindak premanisme.

Lewat Surat Telegram Kapolri Nomor STR/1081/IV/OPS.1.3./2025, Polri mulai menggelar operasi kewilayahan serentak sejak 1 Mei 2025 untuk memberantas premanisme. Selama operasi 1-9 Mei 2025, Kadiv Humas Polri Sandi Nugroho mengatakan, Polri sudah menuntaskan 3.326 kasus premanisme.

Pengungkapan yang menonjol, di antaranya Polres Subang mengamankan sembilan pelaku premanisme di kawasan industri, Polresta Tangerang menangkap 85 preman, dan Polda Kalimantan Tengah melakukan pemanggilan terhadap Ketua GRIB Kalteng soal penutupan PT Bumi Asri Pasaman.

“Kami tidak akan menoleransi aksi-aksi intimidasi, pemerasan, maupun kekerasan yang dilakukan oleh individu atau kelompok berkedok organisasi masyarakat,” kata Sandi, dikutp dari Antara.

Operasi pemberantasan preman pun dilakukan secara masif. Dikutip dari Antara, pada 9-15 Mei, Polda Metro Jaya menangkap 1.197 orang dalam Operasi Berantas Jaya 2025. Dari 1.197 orang itu, jenis pelanggarannya mulai dari parkir liar, pelaku tawuran, penagih utang, premanisme, dan oknum ormas.

Bentuk perbuatan pidananya, antara lain pemerasan sebanyak 626 kasus, penganiayaan delapan kasus, dan pengeroyokan 11 kasus. Lalu pencurian dengan kekerasan dua kasus, pencurian dengan pemberatan tujuh kasus, dan penyalahgunaan senjata tajam 15 kasus.

Kemudian, Polda Metro Jaya menetapkan 348 orang sebagai tersangka saat Operasi Berantas Jawa 2025 pada 9-23 Mei 2025.

Di Banten, Polres Serang dan polsek jajaran berhasil menangkap 66 orang sejak digelar Operasi Pekat Premanisme mulai 1 Mei 2025. Dari 66 orang itu, dikutip dari Antara, 13 di antaranya ditetapkan sebagai tersangka atas kasus pengancaman, tindak kekerasan, serta penipuan terhadap pencari kerja di sejumlah perusahaan.

Di Karawang, Jawa Barat, Polres Karawang mengamankan 65 orang yang diduga preman yang beraksi di beberapa kawasan industri dan titik lainnya. Beberapa di antaranya memeras terhadap pekerja proyek pemasangan rambu lalu lintas di sekitar kawasan industri dan parkir liar.

Akar masalah

Menurut sosiolog dari Universitas Nasional (Unas) Nia Elvina, pemberantasan preman tidak bisa dilepaskan dari realitas sosial dan ekonomi masyarakat. Dia menekankan, premanisme tumbuh subur karena kemiskinan dan sempitnya akses terhadap lapangan pekerjaan yang layak.

“Selama kemiskinan masih jadi masalah utama kita, saya kira fenomena ini sulit dieliminasi,” ujar Nia kepada Alinea.id, Kamis (29/5).

Nia menuturkan, keterlibatan seseorang dalam aksi premanisme kerap dipicu oleh kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi. Mereka yang tidak memiliki pekerjaan tetap misalnya, sering mengambil jalan pintas melalui aktivitas yang bersinggungan dengan kekerasan, pungutan liar, atau praktik pengamanan ilegal.

“Dalam pandangan sosiologi, premanisme itu ranah yang tidak prestisius. Bahkan dianggap sebagai penyakit sosial,” tutur Nia.

Nia menilai, razia dan penangkapan tidak akan efektif memberantas premanisme, jika tidak dibarengi dengan intervensi struktural, seperti penyediaan lapangan kerja, pemberdayaan ekonomi, dan pendidikan vokasi.

Sementara itu, kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Arthur Josias Simon Runturambi menjelaskan, tidak semua praktik premanisme bisa dipukul rata. Menurut Josias, ada dua jenis premanisme yang perlu dibedakan, yakni yang bersifat situasional dan yang sudah terstruktur dalam organisasi.

“Kalau premanisme situasional, cukup ditangani dengan patroli rutin. Tapi kalau sudah jadi organisasi, dibutuhkan shock therapy,” kata Josias, Rabu (28/5).

Dia menambahkan, angka kriminalitas tidak selalu menurun secara konsisten pasca digelar razia premanisme. Sebabnya, kejahatan kerap berpindah lokasi. Hal ini mengindikasikan, penanganan yang hanya bersifat reaktif di lapangan belum tentu menyentuh akar masalah.

“Kerja sama dan koordinasi antarlembaga sangat penting. Karena akar masalahnya bukan sekadar soal hukum, tapi juga sosial, ekonomi, dan budaya,” tutur Josias.

img
Muhamad Raihan Fattah
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan