'Kill the messengger', cara buzzer membela kliennya kala pilkada

Pemred The Jakarta Post ungkap modus buzzer membungkam lawan untuk kepentingan politik.

Foto ilustrasi buzzer/Pixabay.

Kehadiran media sosial (medsos) dinilai mampu menggeser media mainstream atau konvensional dalam membentuk opini publik.

Imbasnya, ruang medsos kerap dimanfaatkan buzzer atau pendengung untuk menebar black campaign hingga negative campaign jelang perhelatan politik, seperti pilkada atau pilpres.

Buzzer dinilai mampu merekayasa pembicaraan di media sosial dengan menebar pesan-pesan propaganda untuk membungkam lawan kliennya.

Jika popularitas klien terancam kritik media mainstream, maka buzzer akan tampil menangkalnya. “Sasaran buzzer telah berubah, bukan lagi mempersoalkan pesan yang disampaikan media mainstream, tetapi kill the messenger. Membunuh pembawa pesannya, media mainstream atau wartawannya sendiri,” ujar Pemimpin Redaksi The Jakarta Post Nezar Patria dalam diskusi virtual, Selasa (28/7).

Strategi buzzer, jelas dia, biasanya membunuh pembawa dengan doxing atau mencari dan menyebarluaskan informasi pribadi seseorang di jagat dunia maya. Tujuannya,  untuk melakukan persekusi secara daring.