Koalisi Sipil kritik tuntutan oditur terdakwa kasus mutilasi di Papua

Koalisi menilai, tuntutan terhadap Mayor Dakhi mencederai rasa keadilan publik, terutama keluarga korban.

Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya, Jatim, lokasi sidang kasus pembunuhan dan mutilasi 4 warga sipil Papua. Google Maps/Oom Blogger

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penegakan Hukum dan HAM mengecam keras tuntutan oditur militer kepada Mayor Helmanto Fransiskus Dakhi, terdakwa kasus pembunuhan dan mutilasi terhadap 4 warga sipil di Papua. Kasus ini menyeret enam anggota TNI aktif sebagai terdakwa.

Dalam persidangan, oditur militer menuntut Mayor Dakhi hanya 4 tahun penjara dikurangi masa tahanan serta dipecat dari TNI AD karena melakukan penadahan. Oditur menyatakan, Mayor Dakhi terbukti bersalah melanggar Pasal 480 ke-2 jo Pasal 55 ayat (1) KUHP dan Pasal 121 ayat (1) KUHPM.

"Tuntutan ini jelas mencederai rasa keadilan publik, utamanya keluarga korban. Pelaku utamanya, Mayor Dakhi, seharusnya dituntut jauh lebih berat menggunakan pasal pembunuhan berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 340 KUHP," kata Koalisi dalam keterangan tertulis, Selasa (24/1).

Koalisi menilai, susunan dan struktur dakwaan terhadap Mayor Dakhi problematis sebab Pasal 480 ke-2 KUHP tentang penadahan dengan hukuman maksimal 4 tahun penjara diletakkan sebagai dakwaan primer. Sementara itu, pasal dengan tindak pidana lebih berat, seperti Pasal 340 tentang pembunuhan berencana, diletakkan sebagai dakwaan subsider.

"Dalam aspek kemiliteran, Mayor Dakhi juga seharusnya bisa dihukum lebih berat karena terlibat dalam seluruh proses perencanaan dan menyetujui tindakan yang dilakukan anak buahnya," papar Koalisi.