KPK ingin Rp52,3 miliar kasus suap izin ekspor benur dirampas untuk negara

Belum ada ketentuan yang mengatur tentang bank garansi hingga kini sehingga kebijakan tersebut tidak boleh dilakukan.

Deputi Penindakan KPK, Karyoto (kiri) dan Plt Juru bicara KPK, Ali Fikri, saat mengumumkan penahanan tersangka bekas Kepala BPPSDM Kemenkes, Bambang Giatno, di Gedung Merah Putih, Jakarta, Jumat (9/10/2020). Dokumentasi KPK

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berencana uang Rp52,3 miliar bank garansi dalam kasus suap izin ekspor benur masuk dalam tuntutan untuk dirampas buat negara. Alasannya, setoran tersebut tak memiliki dasar hukum.

Berdasarkan dokumen dan surat-surat bekas Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo, yang diajukan kepada Menteri Keuangan, Sri Mulyani, Edhy ingin bank garansi sebagai cadangan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Menurut Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Karyoto, tersangka Edhy mengajukan usulan tersebut karena dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 75 Tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) nilainya hanya Rp250 per 1.000 ekor benih lobster.

"Karena (bank garansi) belum ada aturannya yang baku tentang berapa yang harusnya dipungut terhadap ekspor benur ini, maka itu sebagai pencadangan," jelasnya saat jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (24/3).

Lantaran belum ada dasar hukum, Karyoto menegaskan, pungutan tersebut tidak boleh dilakukan. Lebih lanjut, dia mengatakan, duit bank garansi akan dirampas untuk negara karena dalam klausul, para eksportir menyatakan siap secara suka rela menghibahkan pungutan ke negara kalau tidak ada aturan terbaru PNBP KKP.