Kronologi penculikan relawan Jokowi, bermula dari ponsel

Ninoy Karundeng mengaku bekerja sebagai buzzer sejak bulan Juli 2019 dengan bayaran sebesar Rp3,2 juta.

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Argo Yuwono (tengah) bersama Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta Widyastuti (kedua kiri) dan Ketua Bidang PMR dan Relawan PMI Pusat Muhammad Muas (kedua kanan) memberikan keterangan kepada wartawan terkait Klarifikasi Polisi atas Berita Ambulans Pemprov dan PMI Berisi Batu saat demo pelajar. /Antara Foto

Ninoy Karundeng, relawan Presiden Joko Widodo atau Jokowi diduga diculik dan dipukuli oleh massa saat terjadi aksi demonstrasi menolak revisi UU KPK dan RUU KUHP yang berujung rusuh pada Senin, 30 September 2019. Aksi main hakim sendiri itu diduga dilakukan setelah massa memeriksa telepon seluler atau ponsel milik korban.

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya, Kombes Pol Argo Yuwono, menjelaskan kronologi penculikan dan pengeroyokan bermula ketika Ninoy melewati daerah Pejompongan, Jakarta Pusat pada saat terjadi aksi unjuk rasa yang berujung rusuh. Ketika itu, Ninoy melihat sekelompok massa tengah menggotong pendemo yang lemas karena terkena gas air mata.

“Ninoy kemudian mengabadikan peristiwa itu dengan telepon genggamnya. Namun sekelompok orang yang melihatnya langsung merampas telepon genggam milik korban,” kata Argo saat dikonfirmasi di Jakarta pada Kamis (30/9).

Setelah merampasnya, kata Argo, massa kemudian memeriksa ponsel milik Ninoy. Dari situ, massa menemukan bukti Ninoy kerap menyerang lawan politik Jokowi melalui media sosial. “Di dalam hand phone pelapor, terdapat tulisan-tulisan yang mungkin membuat massa tidak suka," ucapnya.

Selanjutnya, sekelompok massa yang merasa kesal menyeret dan langsung mengeroyok Ninoy. Tak cukup sampai di situ, Ninoy juga dibawa ke sebuah tempat untuk diinterogasi terkait aktivitasnya. Ia juga diancam hendak dihabisi jika tak mau mengaku.