Lima ragam penjelasan menguatnya kelompok 212

Menguatnya kelompok 212 tak bisa disederhanakan sebagai buntut populisme Islam atau sekadar fenomena berkembangnya kelompok intoleran.

Umat muslim mengikuti aksi reuni 212 di kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta, Minggu (2/12)./ Antarafoto

Lukmanul Hakim (29) sudah siap bertolak ke Jakarta sejak pukul 00.00. Niatnya bulat ikut reuni kelompok 212 di lapangan silang Monas, Minggu (2/12). Ia memperkirakan, jika berkendara motor dengan kecepatan konstan rerata di atas 60 kilometer/jam, maka bisa sampai tujuan tiga jam berselang. Rumahnya di Pakisjaya, 52 kilometer dari Kota Karawang atau sekitar 70 kilometer dari Ibu Kota.

Perhitungannya tak meleset. Ia sampai di Monas sekitar pukul 03.00 dini hari. Massa belum banyak menyemut. “Mulai shubuh sampai jam 05.30, barulah Monas dipadati ribuan orang yang entah datang dari mana saja,” cerita pria yang sehari-hari bekerja di perusahaan pembiayaan di BSD, Tangerang tersebut. Hari itu, Lukman membantu mengawal keamanan bersama sekelompok teman sukarelawan dari Karawang. Ia berseragam putih bertopi baret.

Buat Lukman, menjadi bagian dari reuni 212 adalah keberuntungan. Saat aksi yang mendaku diri sebagai ikhtiar bela Islam pecah pertama kali pada 2016, ia tak bisa ikut karena tengah sakit. “Teman-teman saya semua cerita waktu itu, betapa aksi berjalan tertib, akbar, dan kompak. Itu bukan sekadar aksi bela Islam, tapi wujud kebangkitan umat Islam seluruh Indonesia. Semua dikerjakan secara sukarela, tak ada muatan politik,” ujarnya percaya diri.

Lukman boleh berpendapat demikian. Namun, Dosen Politik Universitas Gadjah Mada Abdul Gaffar Karim sangsi, aksi 212 yang kemudian terus diperingati lewat reuni sesudahnya, murni sebagai simbol persatuan umat. Di status Facebook-nya ia menyebut, “Menganggap bahwa 212 adalah persatuan umat dan bahwa tak ada kekuatan politik sebelumnya yang mampu menggalang massa sebanyak itu, adalah berlebihan.”

Sebaliknya, imbuh pria kelahiran 1970 itu, menilai reuni 212 tak bermakna secara sosial dan politik adalah naif. Argumennya, aksi 212 pada 2016 dan reuni 212 tahun ini adalah acara yang sangat terstruktur, sehingga jelas ada panitia yang solid dan biaya relatif besar di baliknya.