LIPI sebut terjadi politik pecah belah di Papua

Kebijakan pemerintah membuat orang asli Papua merasa berbeda dengan Indonesia karena termarginalisasi dan depopulasi.

Masyarakat mengadakan aksi menolak RUU Otsus Papua di Manokwari, Papua Barat, Kamis (30/7/2020). Twitter/@westpapuamedia

Penolakan terhadap rapat dengar pendapat yang dilakukan Majelis Rakyat Papua (MRP), yang mengajukan revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus), merupakan fenomena menarik selain kasus kekerasan di Intan Jaya. Pangkalnya, MRP menerima penolakan dari bupati kelompok pro pemekaran saat berkeliling untuk menyerap aspirasi.

"Jadi, ada semacam adu domba antara kelompok masyarakat kontra dan mendukung MRP. (Terjadi) politik devide et impera (pecah belah). Persis yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia,” ujar peneliti tim kajian Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cahyo Pamungkas, dalam webinar, Kamis (19/11).

Dirinya melanjutkan, pembangunan berbasis pertumbuhan ekonomi yang dilakukan selama ini tidak sesuai dengan karakter budaya Papua. Imbasnya, orang asli termarginalisasi dan mengalami depopulasi, bahkan menjadi minoritas di daerah transmigran seperti Sorong, Jayapura, dan Merauke.

“Ada ketakutan suatu saat orang asli Papua akan menjadi minoritas karena jumlah pendatang lebih besar,” ucapnya.

Proses marginalisasi, terangnya, juga memosisikan orang asli Papua sebagai kelompok tidak beruntung dalam proses politik. "(Jumlah) anggota DPR kabupaten dari orang asli Papua semakin sedikit."