LPSK: Polemik status Nazaruddin seharusnya tidak terjadi

Sengkarut ini bisa saja tidak terjadi apabila penegak hukum sedari awal menjadikan UU No.31 Tahun 2104 sebagai rujukan.

Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin. Foto Antara/Wahyu Putro

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyesalkan munculnya silang pendapat yang terjadi antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (PAS) soal status justice collaborator (JC) terpidana kasus korupsi Wisma Atlet M Nazaruddin. 

Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi mengatakan, sengkarut ini bisa saja tidak terjadi apabila penegak hukum sedari awal menjadikan UU No 31 Tahun 2104 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, sebagai rujukan utama ketika menetapkan seseorang sebagai saksi pelaku atau yang lebih masyarakat kenal dengan istilah justice collaborator

UU 31 Tahun 2014 telah mengatur pemenuhan hak JC yang berstatus sebagai narapidana. Dalam memenuhi hak narapidana seperti remisi, pembebasan bersyarat dan hak lainnya, LPSK diberikan wewenang untuk memberikan rekomendasi tertulis kepada Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) agar narapidana mendapatkan penghargaan sesuai yang dijanjikan oleh UU. Dalam ketentuan ini, UU 31 Tahun 2014 memerintahkan Menkumham untuk menjalankan rekomendasi LPSK dengan sungguh-sungguh.

“Aturan tentang saksi pelaku atau JC ada di pasal 10A UU No 31 Tahun 2014 yang terdiri dari 5 ayat, semuanya jelas” kata Edwin

UU tersebut juga mengatur bahwa LPSK merupakan lembaga satu-satunya yang diberi kewenangan untuk memberikan rekomendasi status JC kepada pelaku pidana. Kewenangan LPSK dalam memberikan rekomendasi JC kepada penegak hukum bisa dimulai dari proses penyidikan.