sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Indikasi korupsi dan rapor merah tata kelola LPEI

Menkeu Sri Mulyani baru saja melaporkan indikasi fraud di LPEI. Ini bukan kali pertama lembaga tersebut terseret kasus korupsi.

Qonita Azzahra Aldo Ariyanto
Qonita Azzahra | Aldo Ariyanto Selasa, 19 Mar 2024 19:58 WIB
Indikasi korupsi dan rapor merah tata kelola LPEI

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani baru saja melaporkan indikasi fraud atau kecurangan perusahaan dalam pemberian fasilitas kredit Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) kepada Kejaksaan Agung (Kejagung), Senin (19/3). Dalam laporan ini ada empat perusahaan pengguna fasilitas kredit alias debitur yang terindikasi fraud, dengan total outstanding kredit mencapai Rp2,5 triliun.

Adapun empat debitur yang terindikasi fraud, yakni PT RII dengan outstanding sebesar Rp1,8 triliun, PT SMS senilai Rp216 miliar, PT SPV sebesar Rp144 miliar, dan PT PRS senilai Rp305 miliar. Keempat perusahaan tersebut bergerak di bidang kelapa sawit, batubara, nikel dan perkapalan.

Indikasi fraud ini tercium setelah adanya laporan dari Tim Terpadu yang terdiri dari Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan, dan internal LPEI, yang menyebutkan ada kredit-kredit bermasalah di lembaga penyalur pembiayaan itu.

“Kami bertandang ke Kejaksaan dan Pak Jaksa Agung, Pak Burhanuddin sangat baik menerima kami untuk juga menyampaikan hasil pemeriksaan dari Tim Terpadu, terutama terhadap kredit bermasalah yang terindikasi adanya fraud, yaitu adanya dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh debitur,” kata Sri, di Kejaksaan Agung, Senin (18/3).

Pada kesempatan yang sama, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengungkapkan, empat perusahaan yang telah disebutkan sebelumnya merupakan debitur yang masuk dalam daftar tahap pertama. Pasalnya, masih ada lagi enam perusahaan yang terindikasi fraud, dengan nilai outstanding Rp3 miliar, dan Rp85 miliar lainnya masih dalam proses pemeriksaan BPKP dan Jamdatun pada tahapan recovery asset.

“Saya ingin imbau nanti kepada beberapa PT, ada enam perusahaan. Tolong segera tindak lanjuti apa yang menjadi kesepakatan tadi, antara BPKP, kemudian dari Inspektoratnya, dari Jamdatun, tolong ini laksanakan sebelum nanti akan penyerahan dalam tahap duanya, itu sebesar Rp3 triliun,” tegasnya.

Adanya indikasi korupsi yang tercium di LPEI membuat Sri Mulyani mewanti-wanti lembaga pembiayaan tersebut agar dapat menjalankan tata kelola yang baik dan menjalankan perannya sesuai amanat Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia. Di mana lembaga ini dibentuk untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia melalui kegiatan ekspor.

Karenanya, saat ada pelanggaran hukum, baik berupa korupsi maupun konflik kepentingan di dalam tubuh LPEI, tidak ada pengampunan dari oknum pelaku.

Sponsored

“Kami juga mendorong LPEI untuk terus melakukan inovasi dan koreksi, dan bersama-sama dengan Tim Terpadu tadi, yaitu BPKP, Jamdatun dan Inspektorat untuk terus melakukan pembersihan di dalam tubuh LPEI dan neraca LPEI,” jelas Sri.

Tata kelola yang baik, lanjut mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu, juga harus dilaksanakan agar LPEI dapat menjalankan mandatnya sebagai lembaga pemerintah yang menyalurkan pembiayaan dan melakukan asuransi penjaminan ekspor.

Sudah lama tercium

Menanggapi laporan soal adanya indikasi fraud, Direktur Eksekutif LPEI Riyani Tirtoso mengaku pihaknya akan sepenuhnya mendukung langkah Menteri Keuangan dan Jaksa Agung untuk melakukan pemeriksaan dan tindakan hukum yang diperlukan terhadap debitur LPEI yang bermasalah secara hukum. Tidak hanya itu, LPEI pun menghormati proses hukum yang berjalan dan akan mematuhi peraturan perundangan yang berlaku, serta siap untuk bekerja sama dengan Kejaksaan Agung, BPKP, dan aparat penegak hukum lainnya dalam penyelesaian kasus debitur bermasalah.

“LPEI senantiasa menjunjung tinggi tata kelola perusahaan yang baik, berintegrasi dalam menjalankan seluruh aktivitas kegiatan operasi lembaga dan profesional dalam menjalankan mandatnya mendukung ekspor nasional yang berkelanjutan,” kata Riyani, dalam keterangan yang diterima Alinea.id, Selasa (19/3).

Sementara itu, meski baru diungkap, Kejaksaan Agung telah mencium bau kecurangan lembaga yang lebih dikenal dengan nama Eximbank itu sejak 2019 lalu. Tidak hanya itu, fraud di LPEI bukan hanya terjadi kali ini.

Pada Desember 2022 lalu, Kejaksaan Agung menyelesaikan sidang dugaan korupsi yang terjadi pada 2013 – 2019. Sama seperti yang terjadi saat ini, kasus korupsi tersebut juga terkait dengan penyaluran fasilitas pembiayaan.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, fraud di tubuh LPEI terjadi karena adanya pemufakatan antara internal LPEI dengan debitur yang mengarah kepada kredit macet. Padahal, seharusnya kredit macet pada perusahaan-perusahaan komoditas ekspor utama Indonesia itu sangat kecil kemungkinannya untuk mengalami kesulitan keuangan, hingga tidak bisa membayarkan kembali kredit kepada LPEI.

"Kalau dilihat dari berbagai sektor debitur yang terindikasi fraud adalah sektor unggulan ekspor seperti sawit, nikel, batu bara dan logistik-pelayaran, padahal pada periode pemeriksaan sedang terjadi booming harga komoditas yang artinya tidak ada masalah soal kemampuan bayar debitur," kata Bhima, kepada Alinea.id, Senin (18/3).

Dus, kalau ada masalah kredit macet pada perusahaan, dapat diartikan ada fraud yang disengaja, terutama pada proses analis fasilitas pembiayaan, hingga pengawasan. Pada kondisi ini, Kementerian Keuangan sebagai kementerian yang membawahi LPEI langsung bersama Kejaksaan Agung harus menulusuri ke mana saja uang hasil fraud mengalir.

"Harus dicek juga uang hasil fraud mengalir ke mana saja, di sini perlunya PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) dilibatkan juga," imbuhnya.

Terpisah, Wakil Direktur Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Eko Listiyanto menuturkan, dengan adanya indikasi fraud yang mengarah pada tindak pidana korupsi ini menyiratkan perlunya pembenahan tata kelola kredit LPEI. Pembenahan ini juga diperlukan guna memperbaiki kredibilitas LPEI yang kini suram karena kasus fraud.

Bagaimana tidak, dengan adanya temuan fraud ini, menandakan pembenahan-pembenahan yang dilakukan sebelumnya, baik oleh internal LPEI maupun pemerintah belum mampu memperbaiki tata kelola kredit LPEI. Tapi pada saat yang sama, temuan ini juga menggambarkan kalau pengawasan Kementerian Keuangan bekerja dan pro aktif kepada penegak hukum.

"Upaya pro aktif kemenkeu menurutku bagian dari shock therapy sisi pengawasan agar LPEI bekerja profesional," kata Eko, saat dihubungi Alinea.id, Selasa (19/3).

Namun, dengan adanya kasus fraud ini membuat Kementerian Keuangan perlu menginstruksikan jajaran direksi LPEI untuk membenahi tata kelola perusahaan secara menyeluruh. Karena jika tidak ada perbaikan, LPEI tak akan bisa menjalankan misinya mengembangkan ekspor Indonesia guna mengungkit pertumbuhan ekonomi nasional.

"Berikutnya, dari kasus fraud ini nanti perlu dievaluasi tata kelola yg perlu dibenahi, baik aturan, mekanisme pengawasan, maupun kualitas dan profesionalitas SDM (sumber daya manusia) dalam menjalankan misi LPEI," tutur Eko.

Berita Lainnya
×
tekid