Manajemen lapas bobrok, reformasi harga mati

Ancaman beberapa aksi teror di Indonesia menunjukkan, lemahnya kemampuan manajemen lapas dalam mengontrol narapidana.

Petugas kepolisian memasang garis polisi di depan rutan cabang Salemba seusai dilakukan penyergapan terhadap para tahanan teroris pascakerusuhan di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, Kamis (10/5)./ Antarafoto

Ancaman beberapa aksi teror di Indonesia menunjukkan, lemahnya kemampuan lapas dalam mengontrol narapidana, sehingga rentan dimanfaatkan untuk memproduksi ketakutan massa.

Pengamat Terorisme Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Zaki Mubarok mengatakan, kondisi lapas hingga saat ini masih memprihatinkan, terutama masih lemahnya kontrol terhadap napiter. Sebagai contoh di Lapas Nusakambangan, napiter bahkan bisa merancang bom bunuh diri dan diledakkan di Kampung Melayu dan dan Thamrin. Semua aksi dilakukan melalui perencanaan sistematis dari balik sel.

Dengan modus menjenguk, para pimpinan Jamaah Ansharut daulah (JAD) dari beberapa wilayah seperti Maluku, Poso, Banten, Jawa Barat, dan lainnya bertemu dedengkot teror yang ditahan di Nusakambangan Aman Abdurahman. Mestinya pengunjung napiter seperti itu, imbuhnya, hanya dibatasi bagi keluarga inti seperti istri dan anak.

“Tapi kenyaataannya sampai 2017 silam, siapapun bisa menjenguk, bahkan beberapa pelaku bom bunuh diri dan teror ikut menjenguk sebelum mereka melakukan aksinya tersebut,” katanya kepada Alinea, Rabu (10/5).

Hal tersebut seharusnya menjadi perhatian serius dari pemerintah dan stakeholder terkait untuk membenahi sistem dari kinerja lapas. Selama ini, kerjasama dari aparatur kepolisian, pihak lapas dan Kemenkumham sangat kurang, sehingga muncul kasus-kasus seperti itu.