Segudang masalah dalam rumusan rancangan KUHP

Dalam RKUHP tersebut, tidak mengenal pidana tambahan seperti pembayaran uang pengganti

Peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Indonesia (MaPPI FH UI) Siska Trisia (kiri), Biro Hukum KPK Rasamala Aritonang (kedua kanan), dan Akademisi STHI Jentera Chandra M Hamzah (kanan), dalam diskusi bertajuk

Aliansi Nasional Reformasi KUHP meminta pemerintah dan DPR tidak terburu-buru mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Pasalnya, mereka menemukan sejumlah persoalan dalam rumusan RKUHP.

Peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Indonesia (MaPPI FH UI) Siska Trisia mengatakan, terdapat sejumlah masalah dalam perumusan pasal dan ketentuan pidana tindak pidana korupsi (Tipikor) di RKUHP.

"Masih terdapat banyak permasalahan mengenai pengaturan tipikor itu sendiri, baik dari segi rumusan pasal hingga ketentuan peralihan yang kurang menjawab permasalahan yang ada," kata Siska dalam diskusi bertajuk "Menelaah Pengaturan Tindak Pidana Korupsi dalam RKUHP" di Jakarta Pusat, Senin (24/6).

Permasalahan yang ada di antaranya perlunya menjelaskan lebih lanjut ihwal core crime (pidana inti) dalam pemberantasan korupsi. Sebab, penentuan pidana utama di RKUHP akan berdampak pada pasal di Undang-Undang (UU) 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Siska menyoroti, beberapa persoalan rumusan RKUHP terkait pemberantasan korupsi, seperti ihwal pengaturan uang pengganti. Dalam RKUHP tidak mengenal pidana tambahan seperti pembayaran uang pengganti. Padahal, kata dia, dalam Pasal 10 KUHP telah diatur penjatuhan hukuman bagi pelaku korupsi selain pidana pokok ialah pidana tambahan.