Masyarakat pesisir dinilai wajib tolak RUU Omnibus Law

RUU Omnibus Law ini memiliki kelemahan, baik dari sisi partisipasi dan substansi. 

Pekerja perempuan menjemur ikan lemuru di Desa Tanjung, Pamekasan, Madura, Jawa Timur, Rabu (22/1/2020)/Foto Antara/Saiful Bahri

Masyarakat bahari di Indonesia meliputi nelayan tradisional, perempuan nelayan, petambak garam, pembudidaya ikan, pelestari ekosistem pesisir, dan masyarakat adat pesisir diajak untuk menolak RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) karena akan berdampak buruk terhadap kehidupan mereka.

“RUU ini disusun bukan untuk melindungi dan memberdayakan masyarakat pesisir, tetapi disusun untuk melindungi kepentingan investor beserta segala kepentingannya yang akan mengeruk sumber daya alam, terutama sumber daya kelautan dan perikanan yang berada di pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Oleh karena itu, masyarakat pesisir wajib menolaknya” tegas Sekretaris Jenderal Koalisi Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati via rilis yang diterima Alinea.id, Selasa (4/2).

Pusat Data dan Informasi KIARA (2020), lanjut Susan, mencatat secara umum RUU Omnibus Law ini memiliki dua kelemahan mendasar, yakni: pertama dari sisi partisipasi publik, dan kedua dari sisi substansi. 

Dari sisi partisipasi, urai Susan, RUU ini jelas-jelas tidak melibatkan pihak-pihak yang akan terdampak, khususnya masyarakat pesisir yang terdiri dari nelayan tradisional, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, pelestari ekosistem pesisir, dan masyarakat adat pesisir.

"Padahal, di dalam RUU Omnibus Law ‘Cilaka’ terdapat sejumlah pasal yang terkait dengan investasi atau kemudahan berusaha di kawasan laut. Jumlah pasalnya terhitung sebanyak 27 pasal dan 87 ayat, terhitung mulai dari Pasal 94 sampai dengan Pasal 121," ungkap aktivis perikanan ini.