Menakar efektivitas PSBB Jakarta jilid II

Jakarta kembali memberlakukan PSBB. Sempat menuai polemik saat dilontarkan. Bagaimana efektivitasnya menekan laju penularan Covid-19?

Ilustrasi. Alinea.id/Oky Diaz

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta resmi menerapkan kembali pembatasan sosial berskala besar (PSBB) selama dua pekan per 14 September 2020. Sebelumnya dilakukan selama 105 hari, 10 April-4 Juni.

Tahap pertama ditekankan pada upaya minimalisasi penyebaran coronavirus baru (Covid-19), kali ini dengan dalih mencegah rumah sakit (RS) rujukan kolaps. Meski demikian, pengetatan aktivitas yang terjadi kini lebih longgar.

Sekarang ojek daring (online) diperkenankan mengangkut penumpang dengan penerapan protokol kesehatan; sektor nonesensial di luar zona merah (risiko tinggi) diperbolehkan beroperasi dengan pembatasan 25% pegawai dari kapasitas yang diizinkan bekerja di kantor; kegiatan keagamaan ataupun tempat ibadah di luar zona merah diizinkan dengan limit 50% dari kapasitas; mal diperkenankan buka dengan batasan pengunjung 50% dari kapasitas; serta bebas keluar-masuk Ibu Kota tanpa harus dilengkapi dokumen tertentu.

Di sisi lain, pemprov memperketat strategi menekan penyebaran Covid-19 dengan memperluas jangkauan pelacakan kontak (contact tracing); menyediakan fasilitas swakarantina; pengenaan sanksi progresif terhadap pelanggar protokol; dan menutup gedung perkantoran yang terdapat kasus terkonfirmasi selama 3x24 jam. Ketentuan PSBB kali ini dan penegakan protokol kesehatan diatur dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 88 Tahun 2020 dan Pergub Nomor 79 Tahun 2020.

Menurut inisiator sehatdirumah.com, Jonathan Raditya, efektivitas PSBB II Jakarta menekan laju penularan Covid-19 kecil karena penyebaran dan peningkatan kasus sudah terjadi mayoritas pada 26 Agustus-3 September. Kini hanya tersisa efek dominonya.