Mengapa kasus pelanggaran HAM berat kembali "menghantui" Prabowo pada Pilpres 2024?

Selain pertanyaan Ganjar dalam debat, kasus pelanggaran HAM juga mengemuka seiring terbitnya Buku Hitam Prabowo Subianto.

Kasus pelanggaran HAM berat kembali "menghantui" Prabowo pada "pesta demokrasi", termasuk Pilpres 2024. Mengapa ini terus berulang? Dokumentasi Kemhan

Munculnya kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat, khususnya penculikan belasan aktivis '98, pada setiap momentum "pesta demokrasi", termasuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, membuat kandidat Koalisi Indonesia Maju (KIM), Prabowo Subianto, geram. Ini seperti jawabannya dalam debat perdana, Selasa (12/12) lalu.

"Tiap 5 tahun kalau polling saya naik, ditanya lagi soal itu," ucap Prabowo saat menjawab pertanyaan pesaingnya, Ganjar Pranowo, tentang komitmennya membentuk pengadilan HAM ad hoc dan membantu keluarga korban penculikan menemukan makam kerabatnya yang masih hilang agar bisa berziarah.

Ketua Umum Partai Gerindra ini pun menganggap pertanyaan Ganjar tersebut berpihak. "Itu tendensius, Pak!"
 
Terpisah, aktivis '98 Surabaya, Dandik, menilai, munculnya kasus penculikan aktivis dalam Pilpres 2024 adalah hal wajar. Pangkalnya, pelanggaran HAM berat adalah masalah serius, tetapi pelakunya masih bebas.

"Isu HAM tidak akan pernah hilang dalam proses politik di Indonesia selama pelakunya masih berkeliaran dan dipelihara oleh negara," tegasnya dalam bedah buku Buku Hitam Prabowo Subianto di Surabaya, Jawa Timur (Jatim), pada Sabtu (16/12).

"Jika Prabowo tidak bisa dihukum secara pengadilan HAM, setidaknya bisa dihukum secara politik," sambungnya. Alasannya, Menteri Pertahanan (Menhan) itu dikhawatirkan mengancam masa depan demokrasi jika memenangi pilpres.