close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi intimidasi aktivis. /Foto Pixabay
icon caption
Ilustrasi intimidasi aktivis. /Foto Pixabay
Peristiwa
Senin, 16 Juni 2025 07:00

Tren intimidasi aktivis: Dari serangan digital hingga kiriman kepala babi

Kasus-kasus intimidasi dan teror terhadap aktivis, mahasiswa, dan jurnalis masih terus marak.
swipe

Intimidasi terhadap aktivis lingkungan dan pegiat hak asasi manusia masih terus marak. Akhir Mei lalu, rumah anggota Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Delima Silalahi di kawasan Silangit, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, dikirimi bangkai burung oleh orang tak dikenal. 

Paket itu dikirimkan ke kediaman Delima hanya selang tiga hari setelah Delima dan ratusan warga menggelar unjuk rasa menuntut pemerintah dan DPRD setempat menutup PT Toba Pulp Lestari. Bersama aktivis Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSSPM) dan Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) Tano Batak, Delima sudah bertahun tahun memprotes keberadan PT TPL. 

PT Toba Pulp Lestari (TPL)--sebelumnya dikenal sebagai PT Inti Indorayon Utama--adalah perusahaan yang bergerak di bidang produksi bubur kertas dan pengembangan konsesi hutan tanaman industri. Mayoritas sahamnya dimiliki pengusaha Sukanto Tanoto. 

Pekan lalu, paket bernuansa teror juga diterima dua mahasiswa dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Bali, yakni Wemison Enembe dan Yuberthinus Gobay. Wemison menjabat sebagai Ketua AMP Komite Kota Bali, sedangkan Yuberthinus merupakan salah satu pengurus di tingkat nasional.

Dalam sebuah rilis pers kepada wartawan, AMP menjelaskan kronologi peristiwa itu. Menurut AMP, ada dua paket dengan keterangan isi paket berupa buku berjudul “Papua Bergerak” yang dikirimkan bersamaan ke tempat tinggal Wemison dan Yuberthinus di Bali, Jumat (6/5). 

Paket atas nama Wemison dikirim ke kontrakannya di Jalan Gang Welirang 1, Denpasar Barat, sedangkan paket atas nama Yuberthinus dikirim ke Asrama Papua (ASPURA) di Jalan Tukad Yeh Aya No. 52, Denpasar Selatan. Bukannya buku, isi paket ternyata bangkai kepala babi busuk, satu tulang, dan tanah hitam. 

AMP menilai intimidasi terhadap Wemison dan Yuberthinus merupakan serangan terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat. "Kami minta pihak kepolisian untuk segera usut tuntas pelaku teror dan intimidasi terhadap mahasiswa yang sedang berkuliah di Bali,” tulis AMP.

Kalangan jurnalis juga jadi korban. Pada Oktober 2024 lalu, Pemimpin Redaksi Floresa.co Herry Kabut bahkan sempat ditangkap polisi lantaran media yang ia pimpin rutin mengkritik proyek pembangunan pembangkit listrik geothermal di Pocol Leok, Flores, Nusa Tenggara Timur. 

Herry ditangkap saat meliput aksi unjuk rasa warga sempat menolak proyek geothermal. Ketika itu, nama Herry diteriakkan oleh seseorang. Ia segera diseret polisi ke mobil. Handphone dan laptopnya disita. Herry bahkan sempat dipukul rekan sesama wartawan berinisial TJ. 

Di dalam mobil polisi Herry ditanyai bermacam hal, dari aktivitasnya hingga sejumlah nama orang yang menolak proyek geotermal. Polisi diduga sudah membuka pesan dan sejumlah file milik Herry yang ada di ponsel dan laptopnya.

Sebelum penangkapan Herry, akun Instagram Poco Leok Melawan diretas hingga dua kali, yakni pada Agustus 2024 dan 1 Oktober 2024. Tak hanya Herry, aktivis dan warga setempat yang menolak proyek geothermal juga jadi sasaran serangan digital. 

Dalam laporan bertajuk "Pemantauan Situasi Aktivis Pembela HAM Lingkungan Hidup 2024", Satya Bumi dan Protection International mencatat setidaknya ada 33 kasus serangan dan intimidasi yang dialami oleh 204 individu dan 15 kelompok masyarakat sepanjang 2024.

Wakil Koordinator Bidang Eksternal Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Andrie Yunus mengatakan pola intimidasi serupa juga dialami aktivis dan pegiat hak asasi manusia (HAM). Meski rutin dilaporkan, kasus intimidasi dan serangan siber terhadap pegiat HAM seolah tak serius dituntaskan kepolisian. 

"Saat ini bahkan banyak yang tidak jelas prosesnya. Karena tidak terdapat pertanggungjawaban hukum oleh pelaku, maka terjadi aksi teror di tempat lain. Ini dugaannya karena pelaku di tempat lain itu merasa aksi teror sebelumnya lancar. Tidak ada penghukuman terhadap pelaku," kata Andrie kepada Alinea.id di Jakarta, Sabtu (14/6).

Alih-alih melindungi para aktivis dan pegiat HAM, menurut Andrie, polisi justru kerap dijadikan "alat" untuk mengkriminalisasi. Ia mencontohkan kasus dugaan pencemaran nama baik yang sempat membekap aktivis Haris Azhar, Fatia Maulidyanti, dan Daniel Friets Tangkilisan. 

"Mereka aktivis lingkungan yang dituduh melakukan pencemaran nama baik karena menyuarakan kerusakan lingkungan di Intan Jaya, Papua dan Karimunjawa. Mereka justru bebas setelah masuk perkaranya ke tingkat pengadilan," kata Andrie. 

Selain itu, menurut Andrie, ada juga operasi media yang dilakukan untuk membingkai buruk gerakan aktivisme lingkungan dan pembela HAM, dengan. Tuduhan yang lazim dilayangkan, semisal antek asing atau pencemaran nama baik dan tuduhan tidak berdasar lainnya. 

"Semestinya, pembelaan dan perjuangan dalam cara-carai damai seperti aksi atau demonstrasi hingga liputan melalui produk jurnalistik yang mereka lakukan harus dijamin dan dilindungi oleh negara beserta aparatusnya, termasuk menjamin hak atas rasa aman dalam setiap pelaksanaannya," kata Andrie. 

Senada, Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati, menilai intimidasi terhadap aktivis lingkungan dan pembela HAM sudah berlangsung lama. Namun, modusnya saat ini terlihat lebih terpola terpola, seperti peretasan sosial media dan website. 

"Kiara sempat mengalami serangan siber saat memprotes pagar laut. YouTube kami hilang dan harus di-repost berjamaah. Jadi, pejuang lingkungan ini memang mendapatkan intimidasi yang cukup luar biasa," kata Susan kepada Alinea.id, Sabtu (14/6).

Susan menyebut intimidasi yang terjadi pada pejuang lingkungan sudah banyak terjadi dalam berbagai bentuk. Ia mencontohkan kriminalisasi yang terjadi pada Siti Hawa (67) yang menjadi tersangka karena mempertahankan tanah nenek moyangnya dari penggusuran Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City. 

Selain itu, ada kasus kriminalisasi aktivis Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti dalam kasus dugaan pencemaran nama baik Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Kasus paling parah adalah dugaan pembunuhan terhadap aktivis sekaligus kuasa hukum Walhi, Golfrid Siregar. 

Golfrid meninggal di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik di Medan, Ahad, 6 Oktober 2019. Sebelumnya, ia sempat dikabarkan hilang sejak Rabu, 2 Oktober 2019. Golfrid ditemukan penarik becak dalam kondisi tak sadarkan diri pada Kamis dini hari 3 Oktober 2019 di Jalan Underpass Titi Kuning Medan. 

WALHI mengatakan ada "kejanggalan" dari kematian Golfrid, seperti ditemukannya keretakan pada kepala, luka memar di mata kanan, pakaian yang banyak lumpur. Bahkan, Walhi menduga meninggalnya Golfrid ada kaitannya dengan kasus yang sedang dia kawal, yakni pembangunan PLTA Batang Toru.

Dari catatan 'Friends of the Earth' pembangunan PLTA Batang Toru adalah proyek kontroversial yang memberikan dampak pada lingkungan, sosial, keanekaragaman hayati dengan sejumlah "aktivitas yang mencurigakan yang dilakukan PT North Sumatera Hydro Energy sebagai pengembang proyek".

"Apakah ini upaya untuk membungkam? Jelas, ini adalah upaya untuk menakut- nakuti para pejuang lingkungan yang lain juga untuk kemudian tidak lagi bersuara. Ini semakin gencar ketika negara habis-habisan mendorong invetasi. Kiara saja itu berapa kali pindah kantor sampai kemudian ada yang tiba-tiba mau masuk maksa ke dalam," kata Susan. 

Sokongan warganet 

Susan sepakat kepolisian kerap tak bisa diharapkan untuk mengusut kasus-kasus intimidasi yang dialami aktivis lingkungan dan pegiat HAM. Serangan juga kerap datang dari media massa yang membuat kampanye hitam tentang gerakan aktivisme lingkungan. 

"Aktivis dan masyarakat yang memperjuangkan lingkungan itu banyak diteror. Hal itu umum kami dapati dan ketika lapor juga tidak ada tindak lanjutnya. Intimidasi juga bisa dalam bentuk seperti perusahaan menggunakan platform media untuk mem-black campaign si pejuang lingkungan," kata Susan. 

Saat ini, menurut Susan, pejuang lingkungan dan aktivis dibantu oleh aktivisme warganet. Melalui media sosial, advokasi yang disuarakan LSM bisa sangat cepat menggema. Setelah diviralkan oleh warganet, pemerintah bahkan kerap terpaksa menyetujui tuntutan-tuntutan advokasi.

"Memang harus viral dulu. Coba saja cek, kasus pagar laut dan Pulau Gag itu karena viral dan kemudian negara cepat bergerak dan mencabut. Yang kami takutkan adalah kasus-kasus lain yang tidak mendapatkan atensi untuk menjadi viral. Tindakan intimidasi kriminalisasi itu bisa jadi lebih menyeramkan," kata Susan. 


 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan