Menggergaji independensi dan eksistensi KPK

Revisi UU KPK, resistensi terhadap lembaga pemberantasan korupsi.

Rentetan fakta sosial yang dihadapi KPK terkesan sebagai bagian dari agenda melemahkan KPK./Antara Foto

Pemerintah menolak sebagian isi draf revisi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ini menjadi kabar sejuk di tengah penolakan sebagian besar masyarakat dan pegiat antikorupsi atas rencana revisi yang disebut sebagai agenda melemahkan KPK.

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Jakarta Abdul Fickar Hadjar mengatakan, rentetan fakta sosial yang dihadapi KPK terkesan sebagai bagian dari agenda melemahkan KPK. Ini terlihat dari niat awal revisi yang seperti mendegradasi tindak pidana korupsi dari statusnya yang extraordinary menjadi tindak pidana biasa dengan menempatkannya pada salah satu ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Selanjutnya soal pemilihan anggota Pansel KPK yang berpihak, terpilihnya Calon Pimpinan (Capim) KPK yang bermasalah pada sisi integritas dan mengajukan rancangan perubahan UU KPK yang substansinya tidak logis. Kondisi ini justru melemahkan kedudukan bahkan menghapuskan eksistensi KPK sebagai lembaga independen.

Sejarah mencatat, resistensi terhadap institusi negara yang mengurusi pemberantasan korupsi sudah berlangsung sejak lama. Terbukti dengan bubarnya Tim Gabungan Pemberantasan Korupsi (TGPK) yang dikoordinasi Kejaksaan Agung. 

"Begitulah kekuatan jahat yang sistematis akan mengalahkan energi kebaikan menyusupi semua isu dan sektor kehidupan," ujar Fikcar kepada Alinea.id di Jakarta, Selasa (10/9).