Menunggu bangkitnya industri kayu lapis

Pada awal 1998 kinerja industri kayu lapis mengalami kemunduran. 

Kapal tongkang pengangkut kayu balok berlabuh di kawasan perairan Tanjung Emas, Semarang, Jawa Tengah, Selasa (30/10)./AntaraFoto

Selama hampir 40 tahun, industri kayu lapis Indonesia, telah turut memberi kontribusi positif bagi pembangunan nasional.  Hanya saja, sebagai dampak dari Letter of Intent (LOI) antara Pemerintah Indonesia dengan IMF,  pada awal 1998 kinerja industri kayu lapis mengalami kemunduran. 

Tidak heran jika Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) mengharapkan agar pemerintah mendorong kayu lapis kembali menjadi primadona ekspor. Tingginya biaya produksi akibat kenaikan harga kayu bulat, BBM, TDL, UMR, dan bahan-bahan pendukung lainnya, menjadi penyebab produk kayu lapis Indonesia kehilangan daya saing. Selain itu, pada industri kayu lapis harus menambah ekstra modal kerja hingga 50%. Ini sebagai akibat harus menanggung PPN atas kayu bulat yang proses restitusinya sulit dan memakan waktu yang lama. 

"Setelah 20 tahun berlalu, industri kayu lapis masih belum bisa kembali ke masa keemasannya," ujar Ketua Akpindo Martias pada Munas ke-8 Akpindo, Senin (26/11) di salah satu hotel di bilangan Jakara Selatan. 

Untuk itu, ada baiknya pemerintah segera menghapus PPN kayu bulat, karena kayu bulat belum mengalami penambahan nilai. Di sisi llain,  sektor Hutan Tanaman Industri (HTI), tidak bisa berkembang karena tidak mendapat pendanaan pinjaman dari perbankan. Oleh karenanya dia meminta agar prasyarat dalam meminjamkan kredit pada perbankan, bisa dipermudah.

Kendati begitu, ternyata perkembangan industri kayu lapis cukup pesat di Pulau Jawa. Sekjen KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) Bambang Hendroyono menyampaikan, jumlah produksi kayu lapis yang dihasilkan relatif seimbang antara Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa.