Museum anti kolonialisme pertama dibuka di Rangkasbitung

Setelah menjadi wacana selama dua tahun, Museum Multatuli yang digadang-gadang jadi museum pertama anti kolonialisme pertama, resmi dibuka.

Museum Multatuli yang resmi dibuka pada Minggu (11/2)/ Purnama Ayu Rizky/ Alinea

Ada pemandangan tak biasa di bekas kediaman Asisten Wedana Lebak, Eduard Douwes Deker atau Multatuli, Minggu (11/2). Tak kurang 250 orang yang terdiri atas mahasiswa, warga Banten, dan sejumlah tokoh termasuk Cak Imin dan sejarawan Bonnie Triyana memadati bangunan yang berdiri di seberang Alun-Alun Rangkasbitung ini. Hari itu, Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya bersama Dirjen Kebudayaan Kemdikbud Hilmar Farid resmi membuka Museum Multatuli di bekas rumah Douwes Dekker tersebut.

Sejumlah tokoh hadir dalam peresmian Museum Multatuli, termasuk Cak Imin dan Bonnie Triyana/ Alinea

Pembukaan museum ini melalui proses persiapan panjang. Sejak 2014, ihtiar pengumpulan artefak dan riset sejarah telah dilakukan. Bonnie Triyana, salah satu konseptor Museum Multatuli mengatakan, korespondensi dengan Perhimpunan Multatuli (Multatuli Genootschap) di Belanda intens dilakukan. Tujuannya untuk menduplikasi sejumlah dokumen terkait Douwes Dekker, termasuk surat-menyuratnya dengan Pemerintah Hindia Belanda, novel ‘Max Havelaar’ edisi pertama, dan foto-foto pendukung.

Selain itu, museum yang memiliki tujuh ruangan ini juga dilengkapi dengan koleksi tegel rumah asli Douwes Dekker yang didatangkan langsung dari Belanda. Ada dua tegel yang diselamatkan turis Belanda pada 1980-an dan diserahkan pada Perhimpunan Multatuli di Belanda. Indonesia memperoleh tegel berwarna putih, sedang tegel hitam tetap disimpan di negara kincir angin.