sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Museum anti kolonialisme pertama dibuka di Rangkasbitung

Setelah menjadi wacana selama dua tahun, Museum Multatuli yang digadang-gadang jadi museum pertama anti kolonialisme pertama, resmi dibuka.

Purnama Ayu Rizky
Purnama Ayu Rizky Senin, 12 Feb 2018 08:13 WIB
Museum anti kolonialisme pertama dibuka di Rangkasbitung

Ada pemandangan tak biasa di bekas kediaman Asisten Wedana Lebak, Eduard Douwes Deker atau Multatuli, Minggu (11/2). Tak kurang 250 orang yang terdiri atas mahasiswa, warga Banten, dan sejumlah tokoh termasuk Cak Imin dan sejarawan Bonnie Triyana memadati bangunan yang berdiri di seberang Alun-Alun Rangkasbitung ini. Hari itu, Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya bersama Dirjen Kebudayaan Kemdikbud Hilmar Farid resmi membuka Museum Multatuli di bekas rumah Douwes Dekker tersebut.

Sejumlah tokoh hadir dalam peresmian Museum Multatuli, termasuk Cak Imin dan Bonnie Triyana/ Alinea

Pembukaan museum ini melalui proses persiapan panjang. Sejak 2014, ihtiar pengumpulan artefak dan riset sejarah telah dilakukan. Bonnie Triyana, salah satu konseptor Museum Multatuli mengatakan, korespondensi dengan Perhimpunan Multatuli (Multatuli Genootschap) di Belanda intens dilakukan. Tujuannya untuk menduplikasi sejumlah dokumen terkait Douwes Dekker, termasuk surat-menyuratnya dengan Pemerintah Hindia Belanda, novel ‘Max Havelaar’ edisi pertama, dan foto-foto pendukung.

Selain itu, museum yang memiliki tujuh ruangan ini juga dilengkapi dengan koleksi tegel rumah asli Douwes Dekker yang didatangkan langsung dari Belanda. Ada dua tegel yang diselamatkan turis Belanda pada 1980-an dan diserahkan pada Perhimpunan Multatuli di Belanda. Indonesia memperoleh tegel berwarna putih, sedang tegel hitam tetap disimpan di negara kincir angin.

Museum yang berdiri di samping Perpustakaan Saidjah Adinda ini juga dilengkapi beberapa catatan tokoh perjuangan Indonesia seperti Pramoedya Ananta Toer, R.A Kartini, Jose Rizal, Tan Malaka, yang terinsipirasi dari Multatuli. Di dinding museum, pengunjung juga bisa menyaksikan sejarah anti kolonialisme, Lebak Banten, dan sejarah Indonesia. Di samping bangunan utama, terdapat patung buatan pemahat Dolorosa Sinaga, Multatuli dan Saidjah-Adinda, tokoh dalam novel ‘Max Havelaar’.

Salah satu koleksi di Museum Multatuli/ Alinea

Sponsored

“Multatuli sendiri diambil sebagai nama museum, bukan dalam rangka mengkultuskan sosoknya. Namun kemashuran namanya diharapkan bisa jadi magnet yang menarik perhatian masyarakat dan dunia untuk datang berkunjung,” ungkap Bonnie.

Lagipula, menurut Bonnie, gagasan pendirian museum ini memang semata-mata untuk memotret perjalanan gerakan anti kolonialisme serta menghubungkan sejarah yang terjadi di Lebak dengan sejarah Nusantara dan dunia. "Kami ingin mengangkat Lebak yang kecil ini dalam sejarah Indonesia dan dunia," katanya.

Multatuli adalah nama pena dari Eduard Douwes Dekker, Asisten Wedana Lebak di era kolonialisme Belanda. Kendati merupakan sosok Belanda totok, namun pria kelahiran Amsterdam, 2 Maret 1820 ini memiliki empati terhadap kemiskinan dan penderitaan yang dialami warga Lebak. Ia menjadi saksi sejarah, di mana praktik pemerasan bupati setempat terhadap rakyat justru dimafhumkan.

Kesaksiannya ini lantas dituangkan dalam novelnya yang bertajuk ‘Max Havelaar’ (1860) yang dibuatnya dalam waktu sebulan di sebuah losmen di Belgia. “Sebelum novel ini terbit, orang-orang Hindia Belanda tidak menyadari bahwa mereka sedang dijajah,” tutur Bonnie. Sementara, tiap hari hasil panen kopi warga diperas bupati lewat sistem tanam paksa. Kemiskinan yang menjerat warga Lebak akibat pemerasan inilah yang membuat daerah ini menjadi daerah tertinggal.

‘Max Havelaar’ menjadi tonggak gerakan anti kolonialisme pertama, yang tak urung mengusik Pemerintahan Hindia Belanda saat itu. “Politik etis atau balas budi akhirnya digulirkan, sebagai respon atas penderitaan rakyat yang ditulis Multatuli. Rakyat jadi punya kesempatan untuk mengenyam bangku sekolah yang didirikan Hindia Belanda,” imbuh Bonnie. Yang menarik, ujarnya, Multatuli sendiri dari awal tak memproyeksikan karyanya sebagai perjuangan anti kolonialisme. “Ia hanya mencari formula kolonialisme yang berkeadilan dan lebih humanis,” tuturnya.

Namun siapa nyana, efek dari ‘Max Havelaar’ justru mengilhami sejumlah tokoh nasional termasuk Soekarno, RA Kartini, Tan Malaka, WS Rendra, bahkan tokoh Filiphina Jose Rizal dalam mengenali penjajahan. Di Belanda, karya Multatuli dianggap sebagai karya penting yang mempelopori gaya penulisan baru.

 

"Walaupun tidak secara langsung mengubah sejarah, tapi Max Havelaar telah menjadi simbol inspirasi gerakan pembebasan di negeri terjajah," tegas Bonnie.

Menepis kritik alpa kemiskinan di Lebak

Bupati Lebak Iti mengaku, kritik sempat mengalir seiring pembangunan Museum Multatuli yang rampung sejak 2016. “Kenapa tidak mendahulukan pembangunan jalan dulu, malah membangun museum. Sebenarnya museum ini jadi pintu untuk membuka literasi masyarakat Lebak. Bahwa tempat ini pernah jadi ikon sejarah penting, saat bicara lanskap sejarah anti kolonialisme di Indonesia. Masyarakat harus paham hal itu,” ungkapnya.

Ihwal dana untuk merawat museum, Iti mengatakan sudah menyisakan dari anggaran dana yang terbatas untuk menjaga Multatuli agar tetap kondusif. “Dari awal pendirian, bahkan dana pembangunan dan riset ke Belanda, kita peroleh secara swadaya dari CSR kenalan Pak Bonnie. Tidak ada dana yang dikeruk langsung dari APBD,” tegasnya.

Hilmar Farid menambahkan, untuk perawatan Museum Multatuli, ia akan mencanangkan dana khusus nantinya. “Saya melihat museum ini sangat penting untuk merawat ingatan kolektif bangsa, mengenai sejarah kolonialisme di Indonesia. Bagaimana kira keluar dari kepedihan akibat penjajahan. Kolonialisme tidak mungkin hidup jika tidak ada ketimpangan dalam budaya kita sendiri. Museum ini akan memberi kita cara pandang baru dalam menafsirkan kolonialisme,” tambah Hilmar.

Berita Lainnya
×
tekid