Nyanyi sendu Indonesia Raya di tepi Teluk Jakarta

Arah pemanfaatan ruang menurut Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP-3-K) dinilai tak memberi keadilan bagi nelayan

Puluhan nelayan Muara Angke dengan tiga kapal berlayar mendekati Pantai Maju Bersama, area reklamasi Pulau D, Jakarta Utara, Sabtu (17/8).Alinea.id/Robertus Rony Setiawan.

Satu jam seusai upacara pengibaran bendera peringatan HUT ke-74 RI, Sabtu (17/8) pagi tadi, ketua Kelompok Nelayan Tradisional (KNT) Muara Angke Iwan Carmidi berlayar di atas kapal nelayan kecil miliknya. Dua kapal lain menyusul di belakang, mengangkut nelayan lain dan beberapa anak-anak. Sejalan dengan laju perahu yang melambat, sayup-sayup terdengar suara mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya.

“Kami mau merayakan kemerdekaan ala nelayan. Kami bersama keluarga dan anak-anak ingin merayakan kemerdekaan di tengah lautan kita sendiri,” kata Iwan, setelah kapalnya berlabuh di tepi Pantai Maju Bersama, Pulau D kawasan reklamasi Teluk Jakarta. Bendera Merah Putih berkibar di kapalnya.

Didampingi sejumlah aktivis dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), puluhan nelayan itu juga menyampaikan kekecewaannya atas pelaksanaan upacara peringatan HUT ke-74 RI oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di Pulau D Reklamasi pagi tadi. Bagi mereka, pengembangan kawasan atau reklamasi di Teluk Jakarta sangat memukul mata pencaharian mereka sebagai nelayan.

“Kami sangat menolak dan kecewa dengan pelaksanaan upacara di pulau haram ini!” kata Iwan lagi.

Dampak pembangunan reklamasi Teluk Jakarta mulai dirasakan oleh nelayan dari kawasan Muara Angke, Penjaringan, Jakarta Utara. Dodo, seorang nelayan dari Muara Angke yang turut berunjuk rasa datang menggandeng Vanessa, putrinya yang berusia 9 tahun. Mereka ingin naik ke atas melihat penampakan Pulau D.