Jaksa Agung: Orientasi penegakan hukum bergeser menjadi retributif

Setiap anggota Korps Adhyaksa dituntut memiliki kepekaan dan sensitivitas tinggi dalam melakukan penegakan hukum yang dilakukan.

Jaksa Agung RI Burhanuddin. Dok. Kejaksaan Agung.

Jaksa Agung RI ST Burhanuddin memandang, dinamika yang berkembang saat ini, telah menggeser orientasi penegakan hukum dari distributif menjadi retributif. Maka, kebijakan keadilan restoratif (restorative justice/RJ), merupakan suatu terobosan hukum yang bersifat progresif dan saat ini telah menjadi salah satu alternatif penyelesaian perkara.

Burhanuddin mengatakan, setiap anggota Korps Adhyaksa dituntut memiliki kepekaan dan sensitivitas tinggi dalam melakukan penegakan hukum yang dilakukan. Apalagi kelak, para jaksa tidak hanya memberikan kepastian dan keadilan saja melainkan juga mampu menghadirkan kemanfaatan hukum pada masyarakat dimana hukum itu ditegakkan. 

“Saya harap materi RJ ini diberikan secara khusus dan mendalam kepada para peserta, agar mereka paham betul apa dan bagaimana RJ itu diterapkan, sehingga manakala mereka kelak menjadi Jaksa, mereka dapat menerapkan RJ secara benar dan tepat. Mengingat RJ yang dimiliki oleh Kejaksaan memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri yang tidak sama dengan konsep RJ secara umum dalam teori dan doktrin,” kata Burhanuddin dalam keterangan, Rabu (18/5).

Burhanuddin menyampaikan, saat ini seluruh insan berada di era revolusi digital, karena perubahannya begitu cepat. Ini adalah suatu era dimana kecanggihan dan kecerdasan mesin secara pasti akan menggantikan kecerdasan manusia, dan dampak dari perkembangan teknologi tersebut bukan hanya merubah cara dan budaya kerja sektor industri, melainkan juga berdampak besar pada kehidupan sosial dan budaya kemasyarakatan. 

Dinamika perubahan yang tengah terjadi tersebut pasti akan menimbulkan problematika hukum yang kompleks, mengingat sifat dasar dari keberlakuan hukum adalah terikat oleh tempus dan locus. Sementara kemajuan teknologi cenderung membebaskan manusia dari keterikatan tempus dan locus, sehingga dengan teknologi, manusia dimungkinkan  berada pada satu tempat dan waktu tertentu, namun secara bersamaan dapat melakukan perbuatan hukum dimanapun dan kapanpun melewati batas yuridiksi.