Pakar hukum ini mengaku bingung dengan adanya tuntutan mundur Jaksa Agung

Pembentukan pengadilan HAM ad hoc juga bukan kewenangan kejaksaan.

Pakar Hukum Pidana Suparji Ahmad. Foto uai.ac.id

Pakar Hukum Pidana Suparji Ahmad menanggapi desakan dari Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI), yang meminta agar Jaksa Agung ST Burhanuddin dicopot. Tuntutan ini berdasarkan asumsi bahwa Jaksa Agung Burhanuddin tak mampu menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.

"Tuntutan copot Jaksa Agung karena tak bisa selesaikan pelanggaran HAM berat agak membingungkan. Karena sampai hari ini belum dibentuk pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM berat masa lalu," kata Suparji dalam keterangannya, Jumat (22/10).

Suparji menegaskan, pembentukan pengadilan HAM ad hoc juga bukan kewenangan kejaksaan. Pembentukan itu melalui rekomendasi DPR, kemudian dibuatlah keputusan presiden (kepres).

"Apabila kejaksaan pelakukan penyidikan lebih lanjut, akan dibawa ke mana berkas perkaranya? Maka yang terlebih dahulu dilakukan adalah membentuk pengadilan HAM ad hoc," tuturnya.

"Artinya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lampau bukan hanya tanggung jawab Kejaksaan teapi multisektoral. Karena tidak mungkin kejaksaan berjalan sendiri untuk menuntaskannya," sambung Akademisi Universitas Al-Azhar Indonesia ini.